OLEH : MYRNA RATNA |KOMPAS, MINGGU, 29 NOVEMBER 2015 | Disalin oleh
AFs.com – KEANTIKAN bangunan ini
sudah terlihat dari sejak kaki melangkah di perkarangan yang diteduhi
kerindangan pohon kepel, belimbing, dan mangga. Di pintu masuk pendopo terukir
tulisan PD 1857, yang merupakan singkatan Proyo Drono, sebuah keluarga di
Kotagede yang pada zamannya dikenal kaya-raya. “Kami membelinya dalam keadaan
hancur, dari generasi keempat keluarga ini,” kata pemilik rumah, Nasir Tamara
(64) dan Ita Budhi (56).
Keantikan bangunan ini sudah
terlihat dari sejak kaki melangkah di pekarangan yang diteduhi kerindangan
pohon kepel, belimbing, dan mangga. Di pintu masuk pendopo terukir tulisan PD
1857, yang merupakan singkatan dari Proyo Drono,
sebuah keluarga di Kotagede yang pada zamannya dikenal kaya-raya. "Kami
membelinya dalam keadaan hancur, dari generasi keempat keluarga ini," kata
pemilik rumah, Nasir Tamara (64) dan Ita Budhi (56).
Keputusan untuk membeli rumah ini
tidak serta-merta. Nasir yang saat itu masih menjadi senior
research fellow di ISEAS, Singapura, diminta untuk mengajar di
Universitas Gadjah Mada. "Saya akhirnya merasa betah di Yogya dan malas
kembali ke Singapura. Yogya ini kota yang multirasial, multiagama, multibudaya,
pokoknya membuat betah," kata Nasir.
Ketika mencari rumah tinggal, Nasir
dibantu Laretna Adhisakti, akrab dipanggil Sita, sosok yang peduli pada
pelestarian pusaka Indonesia. "Saya ingat Sita mengatakan, 'Mas Nasir
kalau mau cari rumah, saya akan bantu. Tapi, Mas Nasir harus beli rumah pusaka
untuk menyelamatkan warisan budaya.' Sita ini yang nyetirin
saya untuk melihat-lihat rumah-rumah," kenang Nasir.
Ketika melihat Ndalem Natan di
Kotagede yang bangunannya porak poranda, bahkan sebagian rata dengan tanah,
Nasir langsung jatuh hati. "Prosesnya lancar, padahal rumah ini
bertahun-tahun dicoba dijual, tetapi tidak berhasil. Keluarga besar merasa
cocok dengan kami," kata Nasir.
Renovasi berlangsung lama, hampir
mendekati empat tahun. Baik Nasir maupun Ita sangat hati-hati dalam proses
rekonstruksi bangunan itu. Nasir bahkan melakukan riset sampai ke Belanda,
Spanyol, dan Perancis untuk mengetahui latar belakang sejarah semua elemen yang
ada di bangunan itu. Pemilik rumah ini juga tidak menggunakan kontraktor besar,
tetapi mencari para ahli kayu dari Jepara, Kudus, dan Demak. Para pekerja ini
hampir selama empat tahun tinggal di situ.
"Ini cara merenovasi dari
kacamata arkeologi. Ini model textbook untuk merespons
pusaka budaya. Tak ada benda yang terbuang di sini, semua kepingan keramik,
tegel, kayu, dan batu kami pakai kembali. Kami juga pertimbangkan primbon,
misalnya harus ada unsur tanah, api, angin, dan air. Sewaktu kami beli tidak
ada kolam, sekarang kami pakai kolam," kata Nasir.
Rumah
Jawa
Pembagian ruangan di rumah ini
sesuai dengan rumah Jawa, ada pendopo untuk menerima tamu, ada pringgitan, ada
bagian dalam dan ndalem yang memiliki sentong,
bagian paling sentral dari sebuah rumah, dan di kiri-kanannya ada gandok untuk
menyimpan senjata dan harta.
Bagian yang pertama kali direnovasi
adalah pendopo. Saat itu hanya tiang-tiang yang masih berdiri meskipun miring.
Langit-langit yang terbuat dari kayu beserta kaca-kaca patri indah yang
menghiasi bagian atas pendopo berasal dari Eropa. Demikian juga dengan
terali-terali besi yang menghiasi jendela, dan keramik porselen yang menghiasi
dinding, semuanya bergaya Eropa. "Terali ini mirip dengan yang ada di
Metro Montmartre di Paris yang bergaya art nouveau.
Motif yang berada di atas jendela itu khas revolusi industri yang percaya pada
kekuatan mesin," kata Nasir yang pernah cukup lama bermukim di Perancis.
Kini, proses renovasi yang cukup
lama itu sudah mendekati akhir. Tinggal beberapa tembok yang butuh dipoles.
Nasir dan Ita sudah bisa menikmati jerih payah yang menguras tenaga dan biaya
tersebut. "Energi dan biaya yang kami keluarkan sepadan dengan yang
dihasilkan. Kita berhasil mengembalikan hasil budaya adiluhung Jawa seperti apa
adanya," kata Nasir.
Tamu dari dalam dan luar negeri
berdatangan, dari sekadar mengagumi sampai menimba informasi soal penyelamatan
pusaka budaya. Sore itu, Nasir menerima tamu Country Director Bank Dunia
Rodrigo Chaves dan Ekonom Senior Bank Dunia Ndiame Diop. "Bank Dunia
merupakan salah satu institusi yang membantu proses rekonstruksi pasca bencana
di Yogyakarta," ujar Nasir.
Nasir dan Ita bercita-cita Ndalem
Natan bisa menjadi tempat kegiatan intelektual, budaya, dan lingkungan hidup.
Atau semacam "rumah budaya". Secara rutin setiap bulan peluncuran
buku dilakukan di sini. "Kami juga berpartisipasi dalam Art Jog.
Karya-karya dari beberapa seniman Yogya, seperti Ristiyanto CW dan Muhammad
Yusuf, dipamerkan di galeri ini, Natan Art Space," kata Nasir.
Untuk membiayai pemeliharaan
bangunan yang memiliki 12 kamar itu, sebagian kamar disewakan. Setiap kamar
memiliki nama dan "tema" sendiri, yang perabotan dan interiornya
ditata dengan teliti dan penuh cita rasa. "Tamu bisa memiliki pengalaman
tinggal di Jawa dengan atmosfer seperti di Malioboro puluhan tahun lalu,"
tambah Nasir.
Ruang pribadi
Di bangunan seluas 1.300 meter
persegi yang berada di lahan seluas 2.000 meter itu, Nasir dan Ita mendiami
ruangan pribadi di gandok kiwo (kiri), yang mereka
namai sebagai "Kamar Mataram". Bangunan yang didominasi kayu jati ini
bersisian dengan ruangan yang difungsikan sebagai kafe dan galeri. "Kami
kan hanya berdua, ruangan ini saja sudah cukup besar," kata Ita.
Tentu saja, ruangan pribadi ini
penuh dengan barang antik. Di antaranya tempat tidur kayu berkanopi asal
Tiongkok yang usianya sudah lebih dari seratus tahun, juga radio tabung antik (console
radio) yang permukaannya digrafir dengan indah. "Radionya
masih berfungsi lho," kata Nasir.
Di atas meja kerjanya, selain
terdapat tumpukan buku lawas, juga terdapat bermacam benda lawas, seperti gramofon
dan mesin ketik tua. Tak hanya itu, Nasir pun membuka sebuah kotak, yang
menyimpan ratusan piringan hitam lawas yang masih mulus kondisinya. "Saya
beli dari lelang," katanya.
Nasir dan Ita memang memiliki hobi
dan passion yang sama soal barang antik. Nasir menyukai
keramik dan litografi, sementara Ita menyukai perabotan antik. Ndalem Natan
menjadi wujud ekspresi mereka berdua. "Soal penataan ruangan saya serahkan
kepada Ita," kata Nasir
Sore hari adalah waktu yang paling
disukai pasangan ini, ketika semilir angin dari berbagai penjuru menyelusup ke
pendopo. Sambil menyeruput kopi dengan ditemani kudapan tradisional, keduanya
menanti pergantian dari sore ke malam hari. Langit di Yogyakarta sangat indah.
Biru pekat dengan semburat matahari berwarna jingga. Warna-warni ini perlahan
memudar. Langit pun gulita.
Di Jalan Mondorakan,
Kotagede, Yogyakarta, rumah antic ini menarik perhatian karena keindahannya.
Perpaduan antara gaya Jawa dan Eropa. Setelah hancur oleh gempa tahun 2006,
Ndalem Natan kini berdiri kembali. Lebih indah daripada sebelumnya.