Membangkitkan
Arsitektur Nusantara yang Kreatif
By Kevin
Arsitektur bukan sekadar perkara bangunan. Ia adalah bentuk
yang terejawantahkan dari pengalaman bermasyarakat dan berbudaya. Arsitektur
juga merupakan hasil dialog dengan alam sekitar. Oleh karena itu, masyarakat di
berbagai daerah di Indonesia sebenarnya menerjemahkan arsitektur dengan cara
unik yang berbeda-beda.
NAMUN, dalam setengah abad terakhir, bangunan-bangunan yang
berdiri di Nusantara menjadi seragam, padahal kita begitu beragam. Pada
bangunan-bangunan tersebut, kita tidak lagi menemukan identitas kita sendiri.
Ketika gelombang modernism datang, kita terpesona, mengelu-elukannya, lantas
lupa pada apa yang kita miliki. Bangunan kita yang bertembok tebal, tertutup
rapat, dan lahir dari impuls geometris sebenarnya mengacu pada
bangunan-bangunan di negara empat musim.
Dalam buku Eksplorasi
Desain Arsitektur Nusantara, arsitek Josef Prijotomo mengatakan, prinsip utama
arsitektur adalah sesuai dengan lokasinya. Artinya, bangunan harus beradaptasi
dengan kondisi geografis dan kultur setempat. Di Indonesia dengan dua musim
yang tidak ekstrem, sebenarnya peluang untuk mengaburkan batas yangn indoor dan outdoor sangat besar.
Kita tak perlu mencontoh bangunan Eropa yang memusatkan
semua kegiatan di dalam ruangan dan membangun tembok pelindung yang tebal.
Arsitektur dengan material utama batu semacam itu juga justru tak tahan
guncangan di Indonesia yang tentan gempa. Yang lebih, mendasar, konstruksi yagn
semata-mata tiruan akan kehilangan jiwa. Tak ada lagi filosofi hidup yang turut
memberikan “nyawa” pada bangunan.
Keprihatinan akan makin terkikisnya arsitektur Indonesia
mendorong beberapa pihak, seperti arsitek Yori Antar, Josef Prijotomo, dan
produsen cat Propan untuk mengadakan sayembara arsitektur nusantara. Ini
bukanlah sekadar romantisme untuk menghidupkan kembali arsitektur nusantara.
Sayembara ini justru membuka peluang untuk menggabungkan yang modern dengan
kekhasan arsitektur nusantara. Arsitektur dipandang sebagai sesuatu yang
dinamis.
Kaya eksplorasi
Sayembara arsitektur nusantara dengan tema Rumah Budaya
(tempat promosi kegiatan budaya) yang diluncurkan pertama kali pada 2013
melahirkan banyak karya kreatif. Pemenangnya diumumkan 8 agustus 2014 lalu.
Karya paling menonjol adalah Baruga
Tambi (dirancang Raynaldo Theodore), Omah
Gunungan (Titus Pandu Wisamahaksi), dan Menitis Tazo (Tobias Kea Suksmalana).
Baruga Tambi berarti tempat musyawarah masyarakat Lore,
Poso, Sulawesi Tengah. Konsepnya mengadopsi Tambi, rumah adat masyarakat
setempat, sekaligus menggabungkan dengan unsur modern. “Barupa Tambi sendiri
bentuknya sudah modern, dengan bentuk prisma. Namun, masyarakatnya tidak
menyadari. Bangunan ini saya gubah dengan mempertahankan bentuk tradisional,
tetapi ruangnya modern. Jadi open plan, fleksibel, dan bisa disekat,” ujar
Raynaldo, Jumat (8/8).
Raynaldo juga mempertimbangkan dengan matang keselarasan
Baruga Tambi dengan alam sekitarnya. Ia melanjutkan, “Filosofi yagn paling
penting adalah bagaimana Baruga Tambi sebagai ruang musyawarah juga bisa
berdialog dengan ruang sekitarnya. Ada danu di depannya, pegunungan di
belakangnya. Jadi bentuknya tidak perlu akorbatik, simple saja karena alamnya
sudah indah.”
Konsep menarik lain datang misalnya dari Titus. Ia merancang
Omah Gunungan. Ia membagi ruang-ruang secara bertingkat seperti prinsip
gunungan. Secara vertikal, bangunan in idibagi menjadi kaki (rekreasi di lantai
satu), badan (edukasi di lantai dua), dan kepala (kontemplasi di lantai 3).
“Omah Gunungan juga menawarkan dua hal yang kontras,
perkotaan dan alam. Rumah ini punya dua view deck, di bagian utara dan selatan.
Yang di utara untuk melihat Gunung Merapi, yang selatan untuk melihat
perkotaan. Keduanya mengajak orang untuk berkontemplasi, berefleksi,” terang
Titus.
Karya-karya seperti ini diharapkan bisa menginspirasi dan
nantinya benar-benar diwujudkan. Seperti kata Yori Antar, arsitektur Nusantara
harus dijadikan panglima yang memimpin arah arsitektur Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar