By Kevin
KETIKA menyambangi
Indonesia untuk pertama kalinya, Kaveh Ghahreman, seorang pelancong asal Iran,
mengunjungi beberapa kota sekaligus. Jakarta, Denpasar, Yogyakarta adalah
segelintir di antaranya. Ia mengungkapkan opini menarik tentang karakter kota.
“Kurasa Bali dan Yogyakarta memikatku, bukan pertama-tama
karena pariwisatanya, melainkan karena kotanya memiliki karakter. Lewat wajah
kota secara fisik, kita bisa merasakan budaya lokal yang berbeda dengan tempat-tempat lain,” ujarnya.
Ia menyayangkan, tidak semua kota di Indonesia dianggapnya
cukup berkarakter untuk menunjukkan identitasnya. “Jakarta, misalnya. Bangunan
di kota ini nyaris seragam dengan sebagian besar kota metropolitan di belahan
dunia lain,” tambahnya.
Komentar singkatnya tentang karakter kota dapat menjadi
jalan masuk untuk perenungan yang lebih dalam tentang peran aristektur.
Berpegang semata-mata pada fungsi bangunan dalam merencanakan situs-situs di
sebuah kota barangkali pemikiran yang naïf. Bangunan butuh leibh dari sekadar
fungsional. Arsitektur mampu menyematkan identitas yang kuat pada kota, bahkan
membuatnya menjadi magnet yang
mengundang banyak orang untuk datang.
Kita bisa belajar dari beberapa contoh destinasi wisata yang
populer. Apa yang membuat sekitar 32 juta wisatawan berbondong-bondong datan ke
Paris setiap tahun? Mengapa Santorini menjadi destinasi impian begitu banyak orang? Apa yang
menjadikan nama Las Vegas bergaung di penjuru dunia? Identitas kota menjadi
jawabannya.
Wajah kota Paris, selain Eifel sebagai ikonya, didominasi
bangunan-bangunan kuno Abad Pertengahan sampai dengan abad ke-19. Batu-batu
karang berkapur dengan kontur yang curam justru dimanfaatkan Santorini untuk
menampilkan kecantikannya. Bangunan putih tak beraturan di atas karang tersebut
menjadi daya pikatnya. Sementara itu, Las Vegas dengna beragam bentuk bangunan
yang fantastis dengan gemerlap neon warna-warninya membubuhkan identitas yang
kuat pada kota ini.
Di Indonesia, tak banyak ktoa yang bisa menampilkan
identitasnya lewat arsitektur. Dalam karya tulisnya, arsitek Danang Priatmojo
bahkan pernah menyatakan kota-kota di Indonesia mengalami krisis identitas. Tak
ada ciri khusus yang membedakan satu kota dengan kota lainnya, wajahnya menjadi
seragam. Danang juga mengkiritik upaya-upaya ta kserius untuk menampilkan
elemen arsitektur tradisional, misalnya dengan serta merta “menempelkan” aksen
tradisional tertentu meski tampak dipaksakan.
Dibandingkan daerah-daerah lain, Bali memang menjadi salah
satu daerah yang paling berhasil mengolah elemen lokal untuk memberi kekhasan
pada wajah kota. Di sepanjang jalan-jalan di Bali, kita melihat bahwa sebagian
besar pertokoan, restoran, hotel, atau kafe diolah secara terpadu dalam desain
bangunan. Alhasil, bangunan-bangunan itu pun bisa mengikuti gerak zaman tanpa
meninggalkan tradisi arsitektur yang telah lama menjadi kekayaan lokal.
Sebagai bangsa yang masih terus membangun-baik secara fisik
maupun nonfisik-kita perlu jeli menilik ulang potensi arsitektur Indonesia
dengan keragamannya yang luar biasa memeram keunikna arsitektur tradisional
yang hampir tak ada bandingannya. Saatnya mengolah potensi itu untuk memberi
warna baru pada wajah perkotaankita.