Gerakan Merampingkan
Rumah
By Kevin
Sementara orang-orang berupaya menabung dan memburu rumah
yang besar demi prestise dan kenyamanan, sebagian lagi mulai bertanya, “Apakah
benar kita membutuhkan ruang yang begitu luas untuk berhuni?” Dari pertanyaan
ini, gerakan membuat rumah yang lebih kecil pun lahir.
GERAKAN rumah
kecil atau tiny house movement adalah
sebutan populer gerakan arsitektur sekaligus social untuk mendorong orang
tinggal di rumah yag lebih kecil. Di AS, satu rumah memiliki luas rata-rat 165 meter
persegi pada 1978 sampai 230 meter persegi pada 2007, meskipun jumlah orang
tinggal di dalamnya semakin menyusut. Gerakan rumah kecil ingin mengembalikan
rumah kebentuknya yang lebih sederhana, secukupnya saja, dengna luas kira-kira
70 meter persegi.
Orang-orang bergabung dalam gerakan ini dengan banyak
alasan, tetapi yang paling sering disebut adalah perkara financial, lingkungan,
dan social. Orang Amerika mendedikasikan sekitar sepertiga atau setengah
pendapatan mereka untuk membangun rumah. Jika dikalkulasi, ini setara dengan
gaji 15 tahun bekerja. Alternative mengatasi persoalan ini, tinggal di dalam
rumah yang lebih kecil.
Menggunakan lebih sedikit lahan untuk mendirikan rumah juga
lebih ramah lingkungan. Material yang anda pakai lebih sedikit dan tanah yang
lain bisa dimanfaatkan semisal untuk daerah hijau atau resepan. Dari sisi social,
memiliki rumah lebih kecil berarti juga menyediakan ruang untuk hunian bagi
orang lain. Ktia tahu bahwa jumlah manusia bertambah banyak sementara lahan di
bumi terus menyusut. Lahan yang semakin sesak harus bisa pula menyediakan ruang
untuk beberapa generasi sampai berates tahun ke depan.
AS hanyalah contoh kecil dari gambaran yang lebih besar. Hampir
di belahan dunia mana pun, orang-orang masih menyimpan mimpi untuk memiliki
rumah yang lebih besar. Begitu pula di perkotaan yang pada seperti Jakarta. Geraka
nuntuk membangun rumah lebih kompak pun muncul meskipun gaungnya tak sebesar
yang ada di AS.
Dalam salah satu seminarnya, Atap Jakarta, organisasi hasil
kerja sama Indonesia-Jepang yang emncari solusi hunian masa depan di perkotaan,
membahas rumah kompak. Ahmad Djuhara, salah satu arsitek penggagas Atap
Jakarta, mengatakan, masyarakat kita masih terobsesi pada rumah yang besar. Banyak
ruangan dibuat dengan tujuan yang berbeda-beda alih-alih menjadikannya
multifungsi. Akibatnya, bangunan tidak efisien dan kota makin padat.
Membangun rumah sesuai kebutuhan merupakan bentuk tanggung
jawab terhadap lingkungan dan social. Kita pun bisa menghemat pengeluaran dan
mengalihkannya untuk memenuhi kebutuhan yang lain.