ARSITEKTUR YANG
MEMBODOHKAN
By Kevin, disadur dari KOMPAS, MINGGU
12 JUNI 2011 oleh Andreas Yanuar Wibisono, mahasiswa jurusan Arsitektur
Universitas Katholik Parahyangan.
ARSITEKTUR Berperan besar dalam
membentuk budaya masyarakat penggunanya. Maka, kompetensi seorang arsitek akan
menentukan lingkungan binaan yang dapat memintarkan atau membodohkan.
Buku yang
dari judulnya memiliki kesan sinis ini mengupas persoalan tersebut dengan cara
yang berbeda. Melalui ungkapan kalimat negative, Pursal, seorang pengajar pada
Jurusan Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan, menantang pemikiran para
arsitek, baik yang aktif sebaga ipraktisi maupun yang tenggelam dalam pusaran
teoritis.
Ia ingin
menyampaikan gagasannya tentang seluruh pengetahunan mendasar yagn seharusnya
tertanam dalam pembelajaran arsitektur. Maka, selain berguna bagi para arsitek,
buku ini sangat berguna bagi mahawiswa
dan awam untuk mengetahui peta besar pergumulan arsitektur.
Pursal
menceritakan arsitektur dengan berpijak pada kebutuhan dan keinginan manusia.
Jika pada awalnya arsitektur lahir dari manusia, ia pun harus menyesuaikan diri
dengan dinamika manusia, bukan sebaliknya. Namun, berbagai karya arsitektur
yang tercipta di Indonesia saat ini seolah hanya mengikuti gaya dibandingkan
dengan berangkat dari inti pemikiran.
Melalui
pengamatannya akan perkembangan arsitektur Indoensia itu, Pursal menyelipkan
berbagai macam pandangannya. Ia membahasnya tuntas bagaimana berarsitektur dari tahap perancangan sampai
penilaian, seperti pentingnya sebua hprinsip tatanan dalam perancangan,
bagaimana hubungan fungsi-bentuk-makna dala marsitektur, peran riset dalam perancangan,
peran alam dan budaya, sampai akhirnya peran karya arsitektur itu sendiri dalam
perkembangan kesadaran masyarakat pada zamannya.
Perancangan
arsitektur harus memiliki hubungan fungsi-bentuk-makna yang harmonis. Maka,
sebuah karya tidak dapat hanya mengedepankan estetika bentuk, lalu mengenyampingkan
segi fungsi atau maknanya. Hubungan tiga unsur ini telah dinyatakan oleh David
Smith Capon dalam bukunya, The
Architectural Theory: The Vitruvian Fallacy (1999). Berpegang pada
pengamatannya, Pursal menambahkan, hubungan ini menjadi fungsi-konteks;
bentuk-struktur; pesan-makna. Maksudnya adalah sebuah fungsi harus
distrukturkan agar ia mendapatkan bentuknya, bentuk dengan sendirinya akan
emanmpilkan pesan sehingga ia memiliki makna bagi orang yang melihatnya dan
makna itu harus dikotekskan kembali pada fungsi agar makna yang ada sesuai.
Begitulah hubungan segitiga fungsi-bentuk-makna dalam perancangan arsitektur,
yang tidak dapat berjalan linear, tetapi spiral.
Hubungan
tersebut mencerminkan pandangan Pursal yang selalu berpegan pada prinsip keseimbangan.
Arsitektur sebagai sebuah teks tidak dapat mendominasi penggunanya, sebaliknya
ia juga tidak boleh seenaknya saja walau tanpa ada intense ingin mendominasi manusia. Kubu ekstrem
antara karya arsitektur yang mendominasi
dan seenaknya saja inilah yang harus dihindari oleh perancang.
Maka,
arsitektur dapat memintarkan lingkungan manusia juga sekaligus dapat
membodohkan. Disebut memintarkan apabila ia sebagai teks sesuai dengan-apa yang
dikatakan Heidegger dalam building,
dwelling, thingking-apa pun yang telah ada di tempat itu sebelumnya
(konteks). Disebut memobodohkan apabila arsitektur ingin mendominasi atau
jsutru seenaknya sendiri sehingga manusia yang menggunakannya secara tidak
sadar hilang identitasnya.
Kerancuan Berpikir
Pursal
melakukan eksperimen cara penyampaian dalam bukunya ini. Usaha tersebut
dilakukan agar sebuah kritik atau teori dapat mudah dinikmati sebelum akhirnya
dipahami.
Teknik
bertanay dengan kalimat negative adalah salah satu caranya untuk mengusik
kesadaran para pembaca. Pertanyaan ini selalu ia munculkan dalam setiap judul
babnya yang berjumlah Sembilan bagian. Misalnya saja judul bab ketujuh, yaitu
“Bagaimana Meniadakan Makna Budaya dalam Perancangan Arsitektur?” Judul bab ini seola hakan
memberikan cara-cara praktis dalam meniadakan unsur budaya, tetapi sebenarnya
Pursal justru ingin menyatakan akibat tidak adanya unsur makna budaya melalui
penjelajahan mendalam peran makna budaya.
Pada awal
penjelasan Pursal memberika cerita sederhana tentang topic, selanjutnya ia membawa
contoh tersebut pada bidang arsitektur. Untuk menghantarkan pembaca pada
pandangannya, ia memberikan contoh pemikiran lain sebelum ia menyatakan
pemikarannya. Ia tidak pernah menutup pemikirannya dengan pernyatan tegas, ia
jsutru sealu melemparkan pertanyaan yng lugas. Pertanyaan inilah yang akhirnya
mengembalikan sebuah perkara pada perenungan pembaca masing-masing.
Kalimat
bercerita Pursal dalam Arsitektur yang
membodohkan cukup sulit untuk dipahami karena pola tersebut. Mungking
pembaca dapat menangkap pengertian sekilas, tetapi apa yang sebenarnya ingin
disampaikan oleh Pursal selalu
“terselip” dalam kalimat-kalimatnya.
Untuk
mengatasi hal itu, Pursal menyertakan ilustrasi yang lucu dan mudah dipahami.
Mirip karakter Manga. Hampir seperempat buku ini akhirnya diisi oleh ilustrasi
tersebut. Sebau hprinsip keseimbangan yang ia terapkan juga dalam penyajian.
Pusaran teoritis yang pejal disandingkan dengna ilustrasi yang sangat mudah
dinikmati.
Peta besar
Arsitektur
Membaca buku
ini dari awal sampai akhir dapat membuat pembaca mengerti peta besar
perancangan arsitektur. Namun, pembaca tidak dapat mendalami setiap
permasalahan secara mendetail karena Pursal hanya memberikan rujukan setiap
permasalahan pada pemikiran, buku, atau karya orang lain yang sudah ada.
Pembaca digiring dengan cepat memahami permasalahn untuk masuk ke dalam
pemikiran Pursa itu sendiri.
Rujukan yang
diberikan dalam setiap gagasannya tidak hanay berangkat dari bidang arsitektur.
Beberapa pemikiran bidang ilmu filsafat, budaya, antropologi, dan ilmu lainnya
ia sertakan. Inilah yang membuat pemikiran Pursal dalam arsitektur tidak
terpisah dari keseluruhan peri kehidupan manusia.
Namun,
sayangnya, walaupun berangkat dan diperuntukan secara khusus bagi dunia
arsitektur Indonesia, Pursal tidak memberikan seluruh contoh nyata bangunan-bangunan yang dimaksud. Ia hanay
menceritakan hal-hal yang prinsipil pada setiap kasus. Dalam hal ini pembaca
dianggap sudah memiliki referensi tersendiri tentan setiap bangunan yang
dimaksud.
Dalam
bukunya ini terasa bahwa Pursal ingin memprovokasi para arsitek lain untuk
tidak latah terhadap gaya yang muncul di Barat dan untuk mulai memunculkan
kemudian menulliskan pemikirannya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar