Membangun Harmoni Di Kota
Oleh Abun Sanda, executive summary by Kevin
“Anda ingin mencoba sepeda ini?” tanya Ron Steward ketika saya mengamati sepedanya sampai lima menit. “Cobalah pakai, daripada dikau hanya terpesona saja,” ujar official di Washington DC ini sambil terbahak, baru-baru ini.
Saya kemudian mengendarai sepedanya. Wah enak betul, memacu belasan kayuhan dengan tenaga penuh, sepeda sudah meluncur seratus meter. Kayuhan terasa ringan tetapi sepeda melaju cepat, seolah tidak hirau dengna berat badan yang duduk di atas sadel sepeda. Ron memenmai sambil bercakap-cakap tentang Kota Washington DC yang sangat menjaga harmoni antara manusai dengan alam.
Kami menyusuri jalan-jalan di Washington DC yang sebagian di antaranya datar. Kami menghindari beberapa jalan yang anaik turunnya lumayan menukik, untuk menjaga stamina. Maklum, kereta tua mesti pintar menyimpan energi. Kami berkeliling, diantaranya melewati Gedung Watergate, Gedung Putih, Gedung Capitol, Dupont Circle, dan berhenti tepat di depan Gedung Washington Post. Pada sore hari, gedung berwarna cokelat itu tampak senyap. Lalu lintas di seberang kantornya lengang.
Saya merasakan kenyamanan luar biasa ketika bersepeda di Ibu Kota negeri Adidaya ini. Panas sudah tidak menyengat, karena musim panas sedang menuju awal musim gugur. Tak lama lagi dingin akan terasa dan daun-daun perlahan akan menguning, kecokelatan, kemerahan, dan perlahan pohon-pohon akan tiada henti meluruhkan daun-daunnya hingga gundul. Yang lolols dari penggundulan massal tersebut hanya beberapa jenis, diantaranya poon pinus.
Lalu lintas di Washington, seperti lazimnya lalu lintas di negara-negara indsutri, sangat tertib. Para pesepeda tidak takut dihardik dengan klakson mobil. Bmereka tidak takut diseruduk sepeda motor sebagaimanan tampak di DKI Jakarta. Para pesepeda di sini melaju dengan nyaman, meluncur damai bersama mobil-mobil mewah di jalan raya. Terasa seperti ada “dirigen” yang mengatur lalu lintas itu, sehingga semuanya serba mengalir, tertib, dan elegan. Sesekali terlihat para pesepeda iseng menggunakan lebarnya trotoar kota untuk melaju ke kawasan tertentu.
Saya tidak heran kalau banyak eksekutif AS, perempuan atau lelaki, suka naik sepeda. Pulusi tidak mengganggu, tubuh tidak terlampau keringatan, pemandangan di kiri dan kanan jalan sangat memesona. Gedung-gedung di ibukta AS ini memang umumnya terdiri dari enam samapi dua belas lantai. Namun, karena terawat dan arsitekturnya menawan, pemandangan yang melekat di mata menjadi fantastik. Taman kota, juga patung-patung yang tegak di banyak tempat, sedap dipandang mata.
Mungkin karena suasana yang nyaman, udar yang tidak polutif, perempuan yang bersepeda umunya mengenakan celanan pendek. Rok dan blazer juga terlihat dikenakan. Para lelaki mengenakan sepatu kulit, pakainan lengan panjang atau jas beserta dasinya. Sayang tidak semua bersedia menggunakan helm. Mungkin mereka berpikir hal-hal yang praktis saja, atau mereka sangat percaya diri, tidak akan ditabrak mobil. Atau, kalaupun tersungkur dari sepeda, tidak akan berakibat fatal. Namun, apa pun alasannya, apa pun latar belakangnya, helm tetap wajib dipakai. Kepala manusia bukan terbuat dari baja. Terbentur keras, fatal akibatnya.
Tidak adil rasanya kalau membandingkan kenyamanan bersepeda di Washington DC atau Chichago, atau New York, atau Los Angeles, dengan DKI Jakarta atau Surabaya, dan Makasar. Situasi, iklim, dan kondisi lalu lintasnya sangat berbeda. Disiplin par pengguna jalan di sana sangat tinggi, tidak bisa dibandingkan gaya berkendara warga DKI Jakarta, Surabaya, Makasar. Pula itngkat pulusi di kota-kota di Indonesia kin makin tinggi, dan makin memuakkan. Bukan kesehata yang diperoleh dari bersepeda, tetapi potensi gangguan kebersihan paru-paru.
Akan tetapi, pemegang otoritas kota-kota di Indonesia seyogyanya menempuh kebijaksanaan yang antipolusi tinggi. Peraturan dihadirkan untuk membeku pengendara yang sesukanya membuang polusi yang mengancam jiwa manusia. Ini soal mau atau tidak mau, konsisten pad keberpihakan lingkungan bersih atau tidak.
Kota-kota di Indonesia akan mudah melakukan hal ini, apabila kepala pemerintahannya mempunyai tekad baja mengahadirkan lalu lintas yang tertib, tingkat polusi yang dapat ditoleransi, serta jalur khusus sepeda. Ini sungguh soal komitmen, kemampuan mewujudkan gagasan di lapangan, serta kompetensi melahirkan inovasi dan kreasi.
Menata lalu lintas, membangun infrastruktur, melahirkan peraturan tentang polusi hanyalah bagian kecil dari tugas pemegang otoritas kota. Ini “mudah” dilakukan, kalau pemerintah memiliki kompentensi, kesungguhan bekerja dan nyali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar