Dari Tsou di Lereng
Gunung ke Hinoki di Tengah Kota
Pohon Tiga Generasi merupakan salah satu pemandangan menarik di Alishan National
Recreation Area, Chiayi, Taiwan.
[sumber : KOMPAS, RABU, 16 DESEMBER 2015| Oleh : FRANSISCA ROMANA
NINIK]PEMUDA itu menggengam seikat
alang-alang pada kedua tangannya. Diangkatnya alang-alang tersebut tinggi ke
udara sambli melantunkan semacam nyanyian tradisional. Di hadapannya berdiri
tamu-tamu yang berkunjung ke Yuyupas di Leye, desa wisata suku Tsou di kaki
pegunungan Alishan Taiwan, awal desember 2015.
Ritual itu adalah ucapan selamat datang bagi para pengunjung. ”Kami memberi
tahu kepada para dewa tentang kedatangan Anda sekalian agar semua selamat
selama berkunjung di tempat ini,” tutur Sua, pemandu wisata di desa wisata itu.
Suku Tsou adalah suku asli Taiwan yang mendiami kawasan sekitar Gunung
Alishan. Berdasarkan data dari Digital Museum of Taiwan Indigenous Peoples,
mereka disebut berasal dari ras Austronesia. Tsou berarti manusia. Nama
tersebut diadopsi dari para ilmuwan karena kelompok suku ini sebenarnya tidak
memiliki nama sampai saat Jepang berkuasa di Taiwan tahun 1940-an.
Sua menjelaskan, nenek moyang mereka turun dari langit bagaikan benih-benih
tanaman yang lalu hidup di atas tanah. ”Nenek moyang kami bisa terus bertahan
karena dibantu burung api. Saat air bah melanda tanah ini dan nenek moyang kami
tidak bisa menyalakan api, datanglah burung itu membantu kami sehingga kami
terus hidup,” tuturnya.
Tinggal di pegunungan, suku Tsou dilimpahi dengan kekayaan tanaman dan hewan
yang menjadi sumber penghidupan mereka. Saat ini, pertanian merupakan penyokong
hidup terbesar suku Tsou. Di sekitar Yuyupas, pengunjung bisa melihat hamparan
perkebunan teh, di samping tanaman pertanian lain yang menjadi sumber pangan
mereka, seperti taro, persik, bambu, dan sayur-mayur.
Kedamaian kehidupan di pegunungan Alishan ini sempat terguncang oleh topan
Morakot pada 2009 yang meluluhlantakkan tempat tinggal dan penghidupan suku
Tsou. Banyak anggota suku yang kemudian pergi meninggalkan rumah mereka.
Sua menuturkan, untuk membangkitkan kembali kehidupan yang porak poranda
akibat topan, muncullah gagasan membangun sebuah taman budaya di jantung kehidupan
mereka. Yuyupas, berarti selamat dan sejahtera, kemudian menjadi tujuan wisata
terkenal di kawasan Alishan.
Di taman seluas sekitar 2 hektar itu didirikan semacam aula pameran yang
menampilkan kisah asal mula, foto-foto kehidupan masa lalu, atribut khas,
hingga gambaran kehidupan sehari-hari mereka pada masa kini. Terdapat pula
rumah-rumah tradisional, restoran, rumah pohon, dan teater yang akan membuat
pengunjung benar-benar melihat dari dekat dan mengalami kehidupan suku Tsou.
Para pemuda dan pemudi Tsou, dalam balutan pakaian tradisional mereka,
terlihat sibuk di restoran, menyajikan olahan jamur, bambu, ikan, ayam, udang,
dan babi kepada pengunjung. Mereka terbalut pakaian tradisional Tsou. Para pria
berbaju merah dengan ikat pinggang hitam; berkerah, bercelana, dan berkasut
dari bahan kulit rusa; serta ikat kepala dengan hiasan bulu burung. Sementara
para perempuan berbaju merah dengan rompi biru, berkain hitam, dan mengenakan
hiasan kepala warna-warni.
Kendati demikian, mereka tdak menjauhi budaya modern. Sua, misalnya,
mengenakan celana kain dan kacamata, juga memakai handy-talkie,
di samping sepatu sneakers. Perpaduan unik nan
harmonis.
Di teater, setiap hari mereka menampilkan pertunjukan tari dan musik
tradisional Tsou pada pukul 10.00 dan 14.00. Sayangnya, kami tidak sempat
menikmati pertunjukan karena tidak datang pada waktu-waktu tersebut. Di
sekeliling taman budaya terdapat rumah-rumah kecil yang difungsikan sebagai
tempat penjualan suvenir, berupa aneka kerajinan, pakaian, serta produk makanan
dan minuman.
”Anda bisa menyewa pemandu wisata setempat jika ingin lebih dalam mengenal
kami. Anda juga bisa menginap di sini, menikmati budaya setempat dan keindahan
alamnya,” ujar Sua.
Ratusan tahun
Dari lereng gunung, kami menuju desa wisata lain di tengah kota Chiayi. Desa
ini masih ada hubungannya dengan kawasan Alishan, tempat suku Tsou berdiam.
Disebut Hinoki Village atau Desa Hinoki karena
bangunan-bangunan di ”desa” tersebut seluruhnya dibuat dari kayu hinoki
atau cemara Taiwan yang tumbuh di Alishan.
Jeffrey, pemandu tur kami, menuturkan, selama ratusan tahun,
bangunan-bangunan tersebut tetap dijaga dengan baik. ”Semula bangunan-bangunan
ini adalah asrama para pekerja Hutan Chiayi pada Biro Kehutanan Taiwan semasa
pendudukan Jepang. Sekarang tempat ini menjadi ’desa’ kreatif,” katanya.
Lokasinya tidak jauh dari Stasiun Peimen yang merupakan perhentian dari
jalur pengangkutan kayu cemara dan pinus dari Alishan ke pusat kota Chiayi.
Berdiri di atas lahan seluas 3,4 hektar, di sinilah dulu keramaian Chiayi
berpusat karena kegiatan terkait perkayuan, mulai dari gudang penyimpanan, toko
material kayu, hingga pabrik kayu.
Sebanyak 28 bangunan tua yang berkelompok di sekitar Jalan Beimen, Jalan
Linsen, Jalan Gonghe, dan Jalan Zhongxiao ini memang terlihat masih kokoh.
Warnanya coklat tua dengan model bangunan khas Jepang, seperti pintu dan
jendela geser. Kini bangunan tersebut dimanfaatkan untuk aneka kegiatan,
terutama yang berhubungan dengan industri kreatif.
Ada museum, kedai makanan, toko suvenir, salon kecantikan, galeri, dan
sentra kerajinan. Di teras rumah terlihat beberapa seniman mengerjakan karya
dengan tekun. Di salah satu rumah bertulisan Chiayi Kano Story House, Yu Quan
tampak sibuk melayani pertanyaan beberapa pengunjung.
Di dalam ruangan rumah itu terdapat semacam galeri yang berisi beragam hal
yang berhubungan dengan tim bisbol Kano dari kota Chiayi yang terkenal pada
1931 dan dibuat filmnya tahun 2014. ”Silakan masuk. Maaf, kami memungut tarif
masuk 30 dollar Taiwan (sekitar Rp 12.000),” kata Yu, sembari menunjukkan
koleksi majalah tahunan Asosiasi Alumni Kano, foto-foto hitam putih skuad tim
Kano, dan aneka pernik lain, seperti bola, tongkat pemukul, sarung tangan, dan
seragam.
Di rumah lain, para pengunjung tampak melihat-lihat beragam suvenir, seperti
gelang, tas, gantungan kunci, sapu tangan, dan aksesori. Di bawah pepohonan,
tampak pengunjung duduk sambil menikmati makanan atau pemandangan taman ala
Jepang yang lapang dan rapi.
Di tengah kesibukan kota, Desa Hinoki yang asri dan penuh kreativitas ini
menjadi semacam oase bagi warga ataupun pengunjung. Tak hanya bisu menjadi
saksi sejarah, bangunan-bangunan kayu hinoki tua
itu juga kini menggerakkan perekonomian kota. (FRO)
Versi cetak
artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Des
Alishan,cemara,meniti,hutan,area,chiayi,Taiwan,tersembunyi.Tsou di lereng gunung,Hinoki di tengah kota,desa wisata,ratusan tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar