Minggu, 25 September 2011

Urban Chat | Design

Landscaping Your Little Corner Of The World In Harmony With Mother Nature
By Rob Doddemeade

When it comes to design elements, few areas area as exciting and challenging as landscape design and blending one’s creativity harmoniously with Mother Nature.



Indeed, the lay of the land can inspire your imagination to follow nature itself; but do it in a balanced way that integrates leisure areas with minimal impact on the environment, while at the same time capitalizing on all that mother nature has to offer.

New innovative building materials are opening up new eco-friendly and cost-efficient opportunities. Reinforced concrete, stone cladding ‘batu sikat’, wood and steel construction all offer exciting design possibilities. Orientation to the harsh elements of nature, and harnessing energy efficiency, are all important concept factors these days.



People often ask me why I write about design; and indeed, all forms of designs that touch our lives in so many ways…not just in terms of art and architecture. For me, the answer is simple. Most of the time, we all live in a man made environment; your home, your office , hotels, restaurant and bars, and especially in your car, in Jakarta. Almost everything surrounding you has been invented and designed by someone else, and I’d like to dwell on this important point for a moment.

Some person at some time engaged in a creative act, and the sum total of those acts makes up the world you live in. This applies not only to your physical environment but your mental one as well-your mind is filled almost entirely by symbols formed by creative persons.

Consider what these creative products are made from. Very simple things; things that existed in nature, now combined into new patterns. The chair you sit in did not exist in the tree and resinous substances from which the materials came; but in the mind of the creative  person who designed and constructed it from natural raw materials.



The same can be said for the very floor, walls, drapes and ceiling that surround you. All are patterns formed by creative persons who found new combinations for quite simple and ordinary things. The essence of the creative act is to look beyond what exists in its raw state and ask; “What if” and “Why not?” It is this kind of thinking that shapes the world we live in.



Of course, not all these thoughts have been good for our environment: the clearing of rainforest and tampering with nature, is causing the extinction of many animals and mammals. Toxic gases from industries and carbon fuel emissions from traffic – all man made -  are polluting our world, destroying the ozone layer and increasing global warming. More inventions and creative solutions, like solar energy, wind-power and safer alternative fuel sources, are required, if we are to save our planet.

Minggu, 11 September 2011

Maxxi Museum Roma

Modern Side of Rome

Oleh Kevin

Selama ribu tahun, ratusan bahkan ribuan arsitek telah menghias Roma dengan berbagai mahakarya belatar belakang sejarah menarik yang masih dapat anda saksikan hingga saat ini. Ada bangunan yang disempurnakan oleh arsitek selama beberapa generasi seperti Pantheon dengan kubahnya yang unik karya Cocceius Auctus dan disempurnakan oleh Apollodorus. Ada juga Palazzo della Cancelleria, istana bergaya renaissance pertama yang sebagian bahan bangunannya diambil dari reruntuhan Teater Pompeii. Peruntukan bangunan pun berubah-ubah mengikuti jaman, seperti Colloseum yang pada awalnya dibuat untuk pertunjukkan tarung gladiator kemudian berfungsi sebagai gereja, kuburan, bahkan benteng pertahanan.

Masing-masing bangunan menjadi penanda kejayaan sebuah era dan memberikan karakter tersendiri pada kota abadi ini. Mengerti akan pentingnya Roma dalam peta arsitektur dunia, Zaha Hadid, arsitek wanita kelahiran Iraq yang terkenal dengan beragam karyanya yang asimetris dan spektakuler, memberikan sebuah mahakarya berupa sebuah bangunan museum untuk warganya. Dari luar Museum Maxxi tampil dengan garis sederhana, tidak mengikuti kaidah arsitektur tertentu. Namun kejutannya akan anda temukan ketika anda masuk ke dalam museum yang baru dibuka pada Mei 2010 lalu. Struktur bangunan yang unik membuat cahaya matahari dapat masuk dengan leluasa memberikan penerangan hampir disetiap sudut bangunan. Tangga yang terbuat dari logam menghubungkan lobi dan berbagai galeri dengan alur yang tidak beraturan menghasilkan efek sinematik. Walaupun hanya terdiri dari beberapa galeri, museum yang didedikasikan untuk seni dan arsitektur ini telah memiliki beragam koleksi penting karya perupa modern seperti Anish Kapoor, Gino De Dominics dan William kantridge serta karya arsitek ternama seperti Carlo Scapa dan Vittorio de Feo dalam berbagai bentuk dokumentasi seperti foto, gambar dan model. Karena keunikannya Zaha Hadid memperoleh penghargaan World Building of the Year dari World Architecture Festival tahun lalu. 


Mengunjungi gedung dengan dominasi warna hitam, putih, dan abu-abu yang terbagi dalam lima struktur ini akan membuat anda memahami Roma yang selalu dapat beradaptasi dengan perputaran roda jaman.





MAXXI NATIONAL MUSEUM OF XXI CENTURY ARTS,  via Guido Reni, 4 A 00196 Roma, tel. +39 06 3996 7350, e.mail : info@fondazionemaxxi,it atau www.fondazionemaxxi.it/en


Jumat, 09 September 2011

Inspirasi | Abun Sanda

Membangun Harmoni Di Kota

Oleh Abun Sanda, executive summary by Kevin

“Anda ingin mencoba sepeda ini?” tanya Ron Steward ketika saya mengamati sepedanya sampai lima menit. “Cobalah pakai, daripada dikau hanya terpesona saja,” ujar official di Washington DC ini sambil terbahak, baru-baru ini.



Saya kemudian mengendarai sepedanya. Wah enak betul, memacu belasan kayuhan dengan tenaga penuh, sepeda sudah meluncur seratus meter. Kayuhan terasa ringan tetapi sepeda melaju cepat, seolah tidak hirau dengna berat badan yang duduk di atas sadel sepeda. Ron memenmai sambil bercakap-cakap tentang Kota Washington DC yang sangat menjaga harmoni antara manusai dengan alam.


Kami menyusuri jalan-jalan di Washington DC yang sebagian di antaranya datar. Kami menghindari beberapa jalan yang anaik turunnya lumayan menukik, untuk menjaga stamina. Maklum, kereta tua mesti pintar menyimpan energi. Kami berkeliling, diantaranya melewati Gedung Watergate, Gedung Putih, Gedung Capitol, Dupont Circle, dan berhenti tepat di depan Gedung Washington Post. Pada sore hari, gedung berwarna cokelat itu tampak senyap. Lalu lintas di seberang kantornya lengang.


Saya merasakan kenyamanan luar biasa ketika bersepeda di Ibu Kota negeri Adidaya ini. Panas sudah tidak menyengat, karena musim  panas sedang menuju awal musim gugur. Tak lama lagi dingin akan terasa dan daun-daun perlahan akan  menguning, kecokelatan, kemerahan, dan perlahan pohon-pohon akan tiada henti meluruhkan daun-daunnya hingga gundul. Yang lolols dari penggundulan massal tersebut hanya beberapa jenis, diantaranya poon pinus.


Lalu lintas di Washington, seperti lazimnya lalu lintas di negara-negara indsutri, sangat tertib. Para pesepeda tidak takut dihardik dengan klakson mobil. Bmereka tidak takut diseruduk sepeda motor sebagaimanan tampak di DKI Jakarta. Para pesepeda di sini melaju  dengan nyaman, meluncur damai bersama mobil-mobil mewah di jalan raya. Terasa seperti  ada “dirigen” yang mengatur lalu lintas itu, sehingga semuanya serba mengalir, tertib, dan elegan. Sesekali terlihat para pesepeda iseng menggunakan lebarnya trotoar kota untuk melaju ke kawasan tertentu.


Saya tidak heran kalau banyak eksekutif AS, perempuan atau lelaki, suka naik sepeda. Pulusi tidak mengganggu, tubuh tidak terlampau keringatan, pemandangan di kiri dan kanan jalan sangat memesona. Gedung-gedung di ibukta AS ini memang umumnya terdiri dari enam samapi dua belas lantai. Namun, karena terawat dan arsitekturnya menawan, pemandangan yang melekat di mata menjadi fantastik. Taman kota, juga patung-patung yang tegak di banyak tempat, sedap dipandang mata.


Mungkin karena suasana yang nyaman, udar yang tidak polutif, perempuan yang bersepeda umunya mengenakan celanan pendek. Rok dan blazer juga terlihat dikenakan. Para lelaki mengenakan sepatu kulit, pakainan lengan panjang atau jas beserta dasinya. Sayang tidak semua bersedia menggunakan helm. Mungkin mereka berpikir hal-hal yang praktis saja, atau mereka sangat percaya diri, tidak akan ditabrak mobil. Atau, kalaupun tersungkur dari sepeda, tidak akan berakibat fatal. Namun, apa pun alasannya, apa pun latar belakangnya, helm tetap wajib dipakai. Kepala manusia bukan terbuat dari baja. Terbentur keras, fatal akibatnya.


Tidak adil rasanya kalau membandingkan kenyamanan bersepeda di Washington DC atau Chichago, atau New York, atau Los Angeles, dengan DKI Jakarta atau Surabaya, dan Makasar. Situasi, iklim, dan kondisi lalu lintasnya sangat berbeda. Disiplin par pengguna jalan di sana sangat tinggi, tidak bisa dibandingkan gaya berkendara warga DKI Jakarta, Surabaya, Makasar. Pula itngkat pulusi di kota-kota di Indonesia kin makin tinggi, dan makin memuakkan. Bukan kesehata yang diperoleh dari bersepeda, tetapi potensi gangguan kebersihan paru-paru.


Akan tetapi, pemegang otoritas kota-kota di Indonesia seyogyanya menempuh kebijaksanaan yang antipolusi tinggi. Peraturan dihadirkan untuk membeku pengendara yang sesukanya membuang polusi yang mengancam jiwa manusia. Ini soal mau atau tidak mau, konsisten pad keberpihakan lingkungan bersih atau tidak.


Kota-kota di Indonesia akan mudah melakukan hal ini, apabila kepala pemerintahannya mempunyai tekad baja mengahadirkan lalu lintas yang tertib, tingkat polusi yang dapat ditoleransi, serta jalur khusus sepeda. Ini sungguh soal komitmen, kemampuan mewujudkan gagasan di lapangan, serta kompetensi melahirkan inovasi dan kreasi.


Menata lalu lintas, membangun infrastruktur, melahirkan peraturan tentang polusi hanyalah bagian kecil dari tugas pemegang otoritas kota. Ini “mudah” dilakukan, kalau pemerintah memiliki kompentensi, kesungguhan bekerja dan nyali