Exterior


Dinding Wah, Dinding Granit dan Marmer itu oleh Abun Sanda



 
 

DI ANTARA banyak pesona rumah di Eropa dan AS, satu diantaranya dalah dinding-dinding rumah dan gedungnya yang dibungkus batu granit dan marmer. Sepintas lalu kesannya biasa saja, tetapi kalau diperhatikan lebih seksama, akan tampak betapa nenarik gedung yang dilapisi batu seperti itu. Ia tampak lebih elegan, lebih rapi, atraktif dan tidak memerlukan cat.
Tentu tidak mudah membuat dinding yang terbuat dari batu granit dan marmer. Biayanya lebih besar dua tau tiga kali lipat dari dinding semen. Akan tetapi kalu dikalkulasi dengan tiadanya biaya pengecatan dinding, serta hilangnya kemungkinan dinding semen mengelupas, berjamur dan berlumut, bobot persoalan biaya awal lebih mahal menjadi berkurang.
Di Jepang, dinding bangunan umumnya menggunakan kermaik-keramik kecil. Kesan awal kok agak ribet, tetapi ketika selesai, gedung itu tetap mempunyai sosok menarik dan kokoh. Kesannya rapi, resik dan yang tidak kalah pentingnya, gedung seperti itu tidak perlu disentuh cat.

Aspek lain dari bangunan gagah itu ialah inspirasi transparan tentang upaya membangun rumah atau gedung tinggi dengan selera lebih tertata, pemahaman tentang rumah menajdi lebih beragam, dana inspirasi mengenai detil dan aksesori gedung leih kaya. Kita akan selalu happy dengan pengembang yang acap kali menkankan kerja kreatif dan berpikir selangkah di depan. Kita selalu terpukau oleh pengembang yang mampu menghasilkan rumah bermutu, tetapi biaya sangat murah. Kita terpesona kepada pengembang yang bersedia membangun rumah ukuran kecil, tetapi masih menyisakan sedikit ruang untuk tanaman tumbuh.

Untuk aspek-aspek yang berhubungan dengan lingkungan hidup, kta akan senang sekali kalau pengembang terpanggil membuat teras untuk tempat kembang, Kemudian atap dimanfaatkan untuk rumput dan pohon berukuran maksimum empat meter. Publik Indonesia rindu produk-produk baru yang tidak saja sedap dipandang tetapi memberi ruang bagi lingkungan.

INSPIRASI

Sekali Lagi Tentang Ruang Terbuka Hijau

Di antara berbagai hal pelik yang perlu diketahui pengelola kota-kota di dunia, terdapat satu hal yang acap luput dari perhatian, yakni ruang terbuka hijau (RTH) Setiap kota di dunia asyik membangun perumahan, perkantoran, pusat belanja dan sebagainya. Para Walikota kerap abai terhadap urgensi ruang terbuka hijau, padahal inilah paru-paru kta dan ruang bagi publik meraih kenyamanan.

Lihtalah sejumlah kota di benua Afrika dan Asia, termasuk Asia Tenggara, umumnya tidak hirau pada masalah ini. Akibatnya bisa diterbak, wara merasa sesak, dan tidak mempunyai cukup ruang untuk bermain. Sejumlah walikota selalu berpikir bahwa walikota yang hebat adalah walikota yang mampu membangun perumahan, apartemen dn gedung pencakar langit sebanyak mungkin. Ia tidak tahu bahwa luasan ruang terbuka hijau menjadi kriteria utama layak tidaknya sebuah kota dihuni.

Kota Paris, sekadar menyebut contoh, mempunyuai ruang terbuka hijau seluas 38 persen. Tidak heran kalau kota ini sangat nyaman, baik bagi penduduknya maupun bagi para pelancong yang datang dari seluruh dunia. Atau London yang aduhai, memiliki ruang terbuka hijau yang luas yakni 39 persen. Beijing, ibu kota RRC yang amat macet itu, ternyata memiliki 39 persen RTH. Kota lain yang patut dibahas adalah Melbourne seluas 37 persen, Singapura 37 persen, Kopenhagen 35 persen, Sydney 29 persen. Kota New York yang disebut salah satu kota dunia yang memiliki amat banyak gedung bertingkat, 25,2 persen dari luas kotanya merupakan ruang terbuka hijau.

Kitak tidak perlu heran kalu kota-kota tersebut menajdi kota tujuan wisata dunia. Di Paris misalnya, kita mudah melihat pelbagai jenis burung berhimpun di sana dengan sangat bebas. Burung, tupai, kelelawar, kucing, bahkan kura-kura dapat merayap sangat aman di taman-taman kota kelas dunia itu. Warga dunia yang duduk-duduk di taman-taman kota kerap pula menyaksikan sejumlah pria dan wanita bernyanyi merdu, di sana. Ada juga sejumlah pria muda memainkan alat-alat musik. Suasan sangat nyaman dan damai.
Kalau kita membandingkan dengan kota-kota di Indonesia, kita boleh mengelus dada. Malang yang dulu sejuk dan kini mulai panas, RTH-nya hanya empat persen, pantas kian lama terasa kian panas. Lalu Makassar, kota pantai yang suhunya rata-rata 35-36 derajat celcius, RTH-nya tidak lebih dari lima persen. Walikotanya terkesan asyik membangun ruko dan abai pada ruang terbuka hijau. lalu RTH Palembang hanya lima persen, Medan delapan persen, Surabaya sembilan persen dan DKI Jakarta 9,79 persen. DKI Jakarta "tertolong" oleh kehadiran Monas, parkirt timur Senayan, kawasan Semanggi, bekas stadion Menteng.
Kota-kota lain mencatat persentase luas RTH yang luas. Lihat misalnya Kota Solo, RTH-nya lumayan untuk standar Indonesia yakni 16 persen dan Bogor 19,32 perse. Bogor "tertolong" oleh kehadiran Kebun Raya Bogor yang keren.

Tulisan tentang ruang terbuka hijau ini diketengahkan karena di era pemanasan global seperti sekarang, siapapun bicara tentang ruang terbuka hijau, bahkan kalau perlu hutan kota dan sebutlah semacam kebun raya di Bogor. Anehnya di tengah pembahasan habis-habisan tentang RTH, para walikota Indonesia tidak peduli pada pentingnya tama ndan areal terbuka untuk publik. Padahal, kalau kita berbicara ihwal aspek legal, UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan ruang terbuka yang sesuai standar dunia adalah seluas 30 persen. Dengan kriteria ini, bahkan Kota Bogor yang jelas-jelas memiliki Kebun Raya Bogor, hanya memiliki 19,32 persen. Jauh dari standar yang disyaratkan Undang-undang. Mau ke mana kita sebenarnya?

Tren Desain | Mendatr, Melekuk, Melengkung 
Mendatar, Melekuk, Melengkung

HENDRA A SETYAWAN
Desain rumah di Bukittinggi, Sumatera Barat.
Oleh Ilham khoiri
Arsitektur rumah tradisional di sepanjang pantai barat Sumatera memperlihatkan pergeseran unik. Jika diurut dari Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, hingga ke Sumatera Barat, bentuk atap rumah itu berubah: dari mendatar, agak melekuk, sampai melengkung sekali.

Pemandangan itu menarik perhatian kami saat menyusuri kawasan pantai barat Sumatera dengan perjalanan darat, awal Mei lalu. Bangunan tradisional itu terbuat dari kayu tenam atau meranti atau ulin. dengan struktur berbentuk panggung. Sebagian rumah masih utuh.

Kita mulai saja dari Liwa, Lampung Barat. Rumah tradisional di kawasan ini berbentuk datar dan terdiri dari empat sisi: bagian depan, belakang, samping kiri, dan samping kanan. Wuwungan atau bagian lancip atap terbentang lurus dari kiri ke kanan.

Atap itu terbuat dari seng. Selain enteng, bahan ini juga bisa menahan dingin udara pegunungan. ”Atap lurus pas untuk melindungi penghuni rumah dari panas dan hujan. Bobotnya juga ringan,” kata Aspawi (47), pemilik rumah tradisional di kawasan Batu Berak yang didirikan tahun 1970.

Di Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, bangunan rumah tradisional masih mirip dengan bangunan di Liwa. Hanya saja, atap rumah mulai agak melekuk meski masih landai. Bentuk serupa terdapat pada rumah di Jambi, seperti di kawasan Kerinci. Bedanya, lekukan atap itu tidak lagi melandai, tetapi agak lebih cekung.
Tiba di Sumatera Barat, garis atap rumah memang melengkung lebih tajam. Bentuk paling dramatis terlihat pada rumah gadang, bangunan tradisional untuk keluarga besar dalam budaya Minangkabau. Atapnya membentuk garis setengah lingkaran.

Pada dua sisi kiri-kanan atap, pucuk atapnya dibuat meruncing (bergonjong). Atap ini bisa bertumpuk-tumpuk sesuai dengan jumlah ruangan yang dibentuk di bagian bawahnya.

Ambil contoh rumah gadang milik Syahrial (68) di Koto Pulai, Kecamatan Ampek Angkek, Kabupaten Agam. Bangunan ini telah berusia lebih dari 100 tahun, tetapi bentuknya masih utuh. Hanya kap atapnya yang berubah dari ijuk menjadi seng.

Menurut Syahrial, atap melengkung itu teknik bangunan warisan nenek moyang zaman dulu. ”Lengkungannya mirip lekukan tanduk kerbau,” katanya.

Berguru alam

Ada apa sebenarnya yang terjadi di balik perubahan bentuk atap di pantai barat Sumatera itu?
Menurut pengamat arsitektur dan desain dari Universitas Negeri Padang, Heldi, perubahan pola atap rumah itu hasil warisan budidaya masyarakat tradisional dalam merespons kondisi alam, flora fauna, dan perilaku manusia. Bentuk itu terus disempurnakan selama berabad-abad sampai menemukan wujudnya sekarang.
”Bentuk lengkungan itu punya nilai simbolik sekaligus fungsional,” katanya.

Secara simbolik, lengkungan atap seperti rumah gadang di Sumatera Barat kerap diyakini mirip bentuk tanduk kerbau atau rebung alias bambu muda. Ada juga yang merujuknya pada bentuk layar kapal. Jika tanduk kerbau dan rebung berkaitan dengan budaya pertanian, bentuk kapal mencerminkan budaya merantau.
”Semua itu merefleksikan upaya meniru lingkungan dan alam sekitar. Ini sesuai dengan semangat jargon lama, alam takambang jadi guru atau alam itu terbuka menjadi guru,” papar Heldi.

Lengkungan yang lebih landai seperti di Sumatera Selatan dan Jambi diperkirakan mengacu pada bentuk pepohonan atau gunung. Bentuk datar pada rumah di Lampung menggambarkan bentangan tali dari dahan ke dahan saat nenek moyang dulu membangun tenda sederhana di hutan.

Secara fungsional, lengkungan itu juga punya fungsi penting. Semakin meruncing ujung atap, semakin cepat air hujan turun ke bawah. Dengan demikian, atap tak menerima beban massa air yang berat saat hujan. Rongga atap yang menjulang tinggi menciptakan renggangan yang mendorong sirkulasi udara dalam rumah lebih lancar.

Menurut pengajar di Jurusan Arsitektur Universitas Bung Hatta Padang, Eko Alvares Z, atap rumah di Sumatera itu sangat khas tropis karena bisa melindungi orang dari panas dan hujan yang datang sepanjang tahun. ”Sudut atap yang besar, teritisan yang lebar, dan bentuk rumah panggung dibutuhkan untuk menghindari kelembaban lantai,” katanya.

INsprirasi | Mal

Aroma Timur Tengah di Mal


Narasi oleh Abun Sanda, executive summary by Kevin






Ada banyak kota yang menakjubkan di dunia. Ada Paris yang eloknya bukan kepalang. Ada Shanghai yang dibelah sungai Huangpu, dan menyimpan kecantikan khas Asia. Ada Kyoto dan San Franciso yang hampir setiap sudutnya serba memukau. Ada pula New York dan Tokyo yang demikian pikuk, tetapi tetap asyik dikunjungi.

Ada lagi kota yang sangat menawan, yakni Dubai, di Uni Emirat Arab. Kota ini, seperti beberapa kota di Amerika Serikat yang didirikan di atas padang pasir, sangat menakjubkan. Huan hanya turun tiga sampai lima kali dalam setahun. Bisa dibayangkan ketika musim panas, sperti apa rasanya hawa di kota ini. Tetapi, dengan tknologi, komitmen tinggi pada lingkungan, serta kucuran dana yang luar biasa besarnya, sebagian kota ini diapit taman yang elok.

Berada dalam kota, kesan gurun pasir tidak ada sama sekali. Di banyak lokasi, bahkan terdapat air mancur dan kali buatan. Bayangkan, sebagian warga mandi sepuasnya di kawasan gurun pasir. Berenang sepanjang hari di tengah teriknya matahari. Negeri kaya raya ini mampu tampil seperti ini karean menggunakan uang dari hasil minyak bumi secara efisien dan efektif.

Sisi lain yang menggetarkan adalah selera arsitektur bangunan di sini, salah satu yang terbaik di dunia. Gedung tertinggi di dunia, 170 lantai ada di sini. Gedung ekstra elok Burj Al Arab karya Tom Wright, jug tegak di sini. lalu hampir seluruh malnya mencerminkan cita rasa Timur Tengah dan kultur Islam. Ini bisa terjadi karena para arsitektur dunia berlabuh di sini.

Beberapa gambar yang disajikan di sini sudah mencerminkan aroma Timur Tengah itu. Aroma yang tidak saja menimbulkan kehasan negara-negara di sekitar teluk, tetapi memberi inspirasi yang amat dalam bagi publik dunia. Dan, yang hebat aroma Timur Tengah itu justru membuat mal-mal di sini sangat atraktif, dan memberi kenyamanan luar biasa bagi pengunjung. Barang-barang yang dijual pun, sangat berkualitas dan murah. Dubai praktis menjadi salah satu kota kelas dunia yang memukau.



Kita patut memetik pelajaran dari Dubai. Bagaimana sebuah komitmen besar, bagaimana suatu visi berpspektrum luas dipraktikan secara utuh. Jadilah, ia sebuah kota yang sangat memukau. Indonesia pun bisa melakukannya, kalau mau.