Sabtu, 07 Juli 2018

PROPERTI| HUNIAN

Gerakan Merampingkan Rumah
By Kevin
Sementara orang-orang berupaya menabung dan memburu rumah yang besar demi prestise dan kenyamanan, sebagian lagi mulai bertanya, “Apakah benar kita membutuhkan ruang yang begitu luas untuk berhuni?” Dari pertanyaan ini, gerakan membuat rumah yang lebih kecil pun lahir.
GERAKAN rumah kecil atau tiny house movement adalah sebutan populer gerakan arsitektur sekaligus social untuk mendorong orang tinggal di rumah yag lebih kecil. Di AS, satu rumah memiliki luas rata-rat 165 meter persegi pada 1978 sampai 230 meter persegi pada 2007, meskipun jumlah orang tinggal di dalamnya semakin menyusut. Gerakan rumah kecil ingin mengembalikan rumah kebentuknya yang lebih sederhana, secukupnya saja, dengna luas kira-kira 70 meter persegi.
Orang-orang bergabung dalam gerakan ini dengan banyak alasan, tetapi yang paling sering disebut adalah perkara financial, lingkungan, dan social. Orang Amerika mendedikasikan sekitar sepertiga atau setengah pendapatan mereka untuk membangun rumah. Jika dikalkulasi, ini setara dengan gaji 15 tahun bekerja. Alternative mengatasi persoalan ini, tinggal di dalam rumah yang lebih kecil.
Menggunakan lebih sedikit lahan untuk mendirikan rumah juga lebih ramah lingkungan. Material yang anda pakai lebih sedikit dan tanah yang lain bisa dimanfaatkan semisal untuk daerah hijau atau resepan. Dari sisi social, memiliki rumah lebih kecil berarti juga menyediakan ruang untuk hunian bagi orang lain. Ktia tahu bahwa jumlah manusia bertambah banyak sementara lahan di bumi terus menyusut. Lahan yang semakin sesak harus bisa pula menyediakan ruang untuk beberapa generasi sampai berates tahun ke depan.
AS hanyalah contoh kecil dari gambaran yang lebih besar. Hampir di belahan dunia mana pun, orang-orang masih menyimpan mimpi untuk memiliki rumah yang lebih besar. Begitu pula di perkotaan yang pada seperti Jakarta. Geraka nuntuk membangun rumah lebih kompak pun muncul meskipun gaungnya tak sebesar yang ada di AS.
Dalam salah satu seminarnya, Atap Jakarta, organisasi hasil kerja sama Indonesia-Jepang yang emncari solusi hunian masa depan di perkotaan, membahas rumah kompak. Ahmad Djuhara, salah satu arsitek penggagas Atap Jakarta, mengatakan, masyarakat kita masih terobsesi pada rumah yang besar. Banyak ruangan dibuat dengan tujuan yang berbeda-beda alih-alih menjadikannya multifungsi. Akibatnya, bangunan tidak efisien dan kota makin padat.
Membangun rumah sesuai kebutuhan merupakan bentuk tanggung jawab terhadap lingkungan dan social. Kita pun bisa menghemat pengeluaran dan mengalihkannya untuk memenuhi kebutuhan yang lain.