Kamis, 17 Maret 2011

Trotoar bagian dari peradaban

Di adaptasi oleh Kevin dari article Inspirasi oleh Abun Sanda


Mengapa anda suka menulis masalah trotoar? Anda tidak merasa hal itu sia-sia?


Pertanyaan ini suka diajukan sejumlah rekan dekat saya. Mereka rata-rata menyatakan, trotoar memang ideal dan menimbulkan cinta. Tetapi, mengajak para gubernur atau wali kota memperhatikan trotoar merupakan hal yang nyaris mustahil. Para pemegang otoritas kota merasa masih banyak hal lebih penting dilakukan daripada sekadar trotoar. Sebutlah misalnya air bersih untuk warga, rumah sangat sederhana, fasilitas sekolah. Sebagian lagi tidak memiliki visi tentang kota yang keren.


Seorang rekan yang kini menjadi CEO sebuah perusahaan raksasa bahkan menggunakan kalimat superlative. “Engkau ibarat berteriak di padang gurun. Bukan hanya suaramu tidak terdengar seorang pun manusia, tetapi tertelan gemuruh angin gurun yang sangat menderu,” kata lelaki berusia 52 tahun ini hari selasa (15/3) di Jakarta.


Saya tidak membantah pendapat-pendapat mereka, juga tidak menyampaikan pendapat baru. Tidak pula tertarik mengajak mempercayakan hal itu pada lain waktu. Sebaliknya, saya memilih menulis lagi. Saya teringat ucapan seorang guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Dr Charles Himawan SH LLM (alm). Semasa hidupnya guru besar yang masyhur ini acap menyatakan, salah satu kunci utama penegakan hukum di Indonesia adalah hakim. Kalau hakimnya baik, barakhlak, dan cerdas, akan mengatasi kekurangan aparat hukum lainnya. Hakim yang baik itu akan menjatuhkan hukuman kepada orang yang jelas bersalah. Ia pun akan membebaskan orang yag memang tidak bersalah. Ia tidak bisa disogok dan tidak bisa diombang-ambingkan oleh politisasi perkara. Ia tidak bisa dipengaruhi, bahkan oleh keluarganya dan sebagainya.

Charles Himawan menyatakan pula tidak mudah mewujudkan hal ini sebab tiak mudah mendapatkan hakim yang benar-benar memiliki reputasi, kredibilitas, dan integritas sangat yang sangat tinggi. Akan tetapi, meski begitu, kita tidak boleh berhenti berjuang. Kita harus terus berkampanye tentang hakim yang baik dan ihwal supremasi hukum. Kita mesti terus bersuara, bagaimanapun lirihnya suara itu.


Kambali ke urusan trotoar, kampanye tentang pentingnya trotoar perlu terus didengungkan. Ini menyangkut masalah kenyamanan, peradaban, dan kemanusiaan. Di pelbagai kota besar di Indonesia, kita tahu sendiri. Kalau hujan turun, jalan becek, sebagian wilayah kota malah tergenang. Para pejalan kaki terpakasa berjalan di jalan penuh genangan air kotor itu karena tidak ada trotoar. Kalaupun ada trotoar, biasanya sudah di okupasi oleh para penjual gorengan, bakso, ketoprak, penjualan tanaman hias, atau jadi tumpukan sampah. Kalaupun trotoar itu tidak di okupasi pedagang kecil, biasanya dalam keadaan rusak berat sehingga tidak dapat digunakan.


Tentu ada pengambil keputusan di perkotaan yang sebetulnya hirau dengan masalah ini, tetapi kreativitas dan invasi mereka agaknya tidak cukup untuk menyediakan trotoar dengan anggaran yang minim. Kalaupun ada anggaran, tidak mampu membuat trotoar yang layak pakai.


Tidak ada maksud saya membandingkan trotoar di kota-kota besar di Indonesia dengan trotoar di sejumlah Negara maju. Tetapi, baiklah kiranya kalau masalah trotoar itu kita bahas dengan tujuan member inspirasi. Umumnya Negara yang mampu menyediakan trotoar yang baik dan benar adalah Negara-negara dengan peradaban sangat tinggi. Atau, di Negara yang selalu menempatkan manusia sebagai mahkluk yang sangat mulia.




Trotoarnya biasanya dibuat dari batu granit, marmer, dan beton yang didesain sedemikian rupa sehingga enak disusuri. Pohon-phon hijau membentang di sisi kiri dan kanan. Betapa ingin kita mendapatkan trotoar elok, seperti itu di kota-kota besar di Indonesia. Alangkah ingin kita melihat para pemegang otoritas kota memiliki kepedulian kepada masalah pedestrian ini.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar