Senin, 19 Desember 2016

LANGGAM PROPERTI

By Kevin
KETIKA menyambangi Indonesia untuk pertama kalinya, Kaveh Ghahreman, seorang pelancong asal Iran, mengunjungi beberapa kota sekaligus. Jakarta, Denpasar, Yogyakarta adalah segelintir di antaranya. Ia mengungkapkan opini menarik tentang karakter kota.
“Kurasa Bali dan Yogyakarta memikatku, bukan pertama-tama karena pariwisatanya, melainkan karena kotanya memiliki karakter. Lewat wajah kota secara fisik, kita bisa merasakan budaya lokal yang berbeda dengan  tempat-tempat lain,” ujarnya.
Ia menyayangkan, tidak semua kota di Indonesia dianggapnya cukup berkarakter untuk menunjukkan identitasnya. “Jakarta, misalnya. Bangunan di kota ini nyaris seragam dengan sebagian besar kota metropolitan di belahan dunia lain,” tambahnya.
Komentar singkatnya tentang karakter kota dapat menjadi jalan masuk untuk perenungan yang lebih dalam tentang peran aristektur. Berpegang semata-mata pada fungsi bangunan dalam merencanakan situs-situs di sebuah kota barangkali pemikiran yang naïf. Bangunan butuh leibh dari sekadar fungsional. Arsitektur mampu menyematkan identitas yang kuat pada kota, bahkan membuatnya menjadi magnet  yang mengundang banyak orang untuk datang.
Kita bisa belajar dari beberapa contoh destinasi wisata yang populer. Apa yang membuat sekitar 32 juta wisatawan berbondong-bondong datan ke Paris setiap tahun? Mengapa Santorini menjadi destinasi  impian begitu banyak orang? Apa yang menjadikan nama Las Vegas bergaung di penjuru dunia? Identitas kota menjadi jawabannya.
Wajah kota Paris, selain Eifel sebagai ikonya, didominasi bangunan-bangunan kuno Abad Pertengahan sampai dengan abad ke-19. Batu-batu karang berkapur dengan kontur yang curam justru dimanfaatkan Santorini untuk menampilkan kecantikannya. Bangunan putih tak beraturan di atas karang tersebut menjadi daya pikatnya. Sementara itu, Las Vegas dengna beragam bentuk bangunan yang fantastis dengan gemerlap neon warna-warninya membubuhkan identitas yang kuat pada kota ini.
Di Indonesia, tak banyak ktoa yang bisa menampilkan identitasnya lewat arsitektur. Dalam karya tulisnya, arsitek Danang Priatmojo bahkan pernah menyatakan kota-kota di Indonesia mengalami krisis identitas. Tak ada ciri khusus yang membedakan satu kota dengan kota lainnya, wajahnya menjadi seragam. Danang juga mengkiritik upaya-upaya ta kserius untuk menampilkan elemen arsitektur tradisional, misalnya dengan serta merta “menempelkan” aksen tradisional tertentu meski tampak dipaksakan.
Dibandingkan daerah-daerah lain, Bali memang menjadi salah satu daerah yang paling berhasil mengolah elemen lokal untuk memberi kekhasan pada wajah kota. Di sepanjang jalan-jalan di Bali, kita melihat bahwa sebagian besar pertokoan, restoran, hotel, atau kafe diolah secara terpadu dalam desain bangunan. Alhasil, bangunan-bangunan itu pun bisa mengikuti gerak zaman tanpa meninggalkan tradisi arsitektur yang telah lama menjadi kekayaan lokal.
Sebagai bangsa yang masih terus membangun-baik secara fisik maupun nonfisik-kita perlu jeli menilik ulang potensi arsitektur Indonesia dengan keragamannya yang luar biasa memeram keunikna arsitektur tradisional yang hampir tak ada bandingannya. Saatnya mengolah potensi itu untuk memberi warna baru pada wajah perkotaankita.

Jumat, 11 November 2016

MENYELAMATKAN RUMAH PUSAKA

OLEH : MYRNA RATNA |KOMPAS, MINGGU, 29 NOVEMBER 2015 | Disalin oleh AFs.com – KEANTIKAN bangunan ini sudah terlihat dari sejak kaki melangkah di perkarangan yang diteduhi kerindangan pohon kepel, belimbing, dan mangga. Di pintu masuk pendopo terukir tulisan PD 1857, yang merupakan singkatan Proyo Drono, sebuah keluarga di Kotagede yang pada zamannya dikenal kaya-raya. “Kami membelinya dalam keadaan hancur, dari generasi keempat keluarga ini,” kata pemilik rumah, Nasir Tamara (64) dan Ita Budhi (56).

Keantikan bangunan ini sudah terlihat dari sejak kaki melangkah di pekarangan yang diteduhi kerindangan pohon kepel, belimbing, dan mangga. Di pintu masuk pendopo terukir tulisan PD 1857, yang merupakan singkatan dari Proyo Drono, sebuah keluarga di Kotagede yang pada zamannya dikenal kaya-raya. "Kami membelinya dalam keadaan hancur, dari generasi keempat keluarga ini," kata pemilik rumah, Nasir Tamara (64) dan Ita Budhi (56).
Keputusan untuk membeli rumah ini tidak serta-merta. Nasir yang saat itu masih menjadi senior research fellow di ISEAS, Singapura, diminta untuk mengajar di Universitas Gadjah Mada. "Saya akhirnya merasa betah di Yogya dan malas kembali ke Singapura. Yogya ini kota yang multirasial, multiagama, multibudaya, pokoknya membuat betah," kata Nasir.

Ketika mencari rumah tinggal, Nasir dibantu Laretna Adhisakti, akrab dipanggil Sita, sosok yang peduli pada pelestarian pusaka Indonesia. "Saya ingat Sita mengatakan, 'Mas Nasir kalau mau cari rumah, saya akan bantu. Tapi, Mas Nasir harus beli rumah pusaka untuk menyelamatkan warisan budaya.' Sita ini yang nyetirin saya untuk melihat-lihat rumah-rumah," kenang Nasir.
Ketika melihat Ndalem Natan di Kotagede yang bangunannya porak poranda, bahkan sebagian rata dengan tanah, Nasir langsung jatuh hati. "Prosesnya lancar, padahal rumah ini bertahun-tahun dicoba dijual, tetapi tidak berhasil. Keluarga besar merasa cocok dengan kami," kata Nasir.
Renovasi berlangsung lama, hampir mendekati empat tahun. Baik Nasir maupun Ita sangat hati-hati dalam proses rekonstruksi bangunan itu. Nasir bahkan melakukan riset sampai ke Belanda, Spanyol, dan Perancis untuk mengetahui latar belakang sejarah semua elemen yang ada di bangunan itu. Pemilik rumah ini juga tidak menggunakan kontraktor besar, tetapi mencari para ahli kayu dari Jepara, Kudus, dan Demak. Para pekerja ini hampir selama empat tahun tinggal di situ.

"Ini cara merenovasi dari kacamata arkeologi. Ini model textbook untuk merespons pusaka budaya. Tak ada benda yang terbuang di sini, semua kepingan keramik, tegel, kayu, dan batu kami pakai kembali. Kami juga pertimbangkan primbon, misalnya harus ada unsur tanah, api, angin, dan air. Sewaktu kami beli tidak ada kolam, sekarang kami pakai kolam," kata Nasir.
Rumah Jawa
Pembagian ruangan di rumah ini sesuai dengan rumah Jawa, ada pendopo untuk menerima tamu, ada pringgitan, ada bagian dalam dan ndalem yang memiliki sentong, bagian paling sentral dari sebuah rumah, dan di kiri-kanannya ada gandok untuk menyimpan senjata dan harta.
Bagian yang pertama kali direnovasi adalah pendopo. Saat itu hanya tiang-tiang yang masih berdiri meskipun miring. Langit-langit yang terbuat dari kayu beserta kaca-kaca patri indah yang menghiasi bagian atas pendopo berasal dari Eropa. Demikian juga dengan terali-terali besi yang menghiasi jendela, dan keramik porselen yang menghiasi dinding, semuanya bergaya Eropa. "Terali ini mirip dengan yang ada di Metro Montmartre di Paris yang bergaya art nouveau. Motif yang berada di atas jendela itu khas revolusi industri yang percaya pada kekuatan mesin," kata Nasir yang pernah cukup lama bermukim di Perancis.

Kini, proses renovasi yang cukup lama itu sudah mendekati akhir. Tinggal beberapa tembok yang butuh dipoles. Nasir dan Ita sudah bisa menikmati jerih payah yang menguras tenaga dan biaya tersebut. "Energi dan biaya yang kami keluarkan sepadan dengan yang dihasilkan. Kita berhasil mengembalikan hasil budaya adiluhung Jawa seperti apa adanya," kata Nasir.
Tamu dari dalam dan luar negeri berdatangan, dari sekadar mengagumi sampai menimba informasi soal penyelamatan pusaka budaya. Sore itu, Nasir menerima tamu Country Director Bank Dunia Rodrigo Chaves dan Ekonom Senior Bank Dunia Ndiame Diop. "Bank Dunia merupakan salah satu institusi yang membantu proses rekonstruksi pasca bencana di Yogyakarta," ujar Nasir.
Nasir dan Ita bercita-cita Ndalem Natan bisa menjadi tempat kegiatan intelektual, budaya, dan lingkungan hidup. Atau semacam "rumah budaya". Secara rutin setiap bulan peluncuran buku dilakukan di sini. "Kami juga berpartisipasi dalam Art Jog. Karya-karya dari beberapa seniman Yogya, seperti Ristiyanto CW dan Muhammad Yusuf, dipamerkan di galeri ini, Natan Art Space," kata Nasir.
Untuk membiayai pemeliharaan bangunan yang memiliki 12 kamar itu, sebagian kamar disewakan. Setiap kamar memiliki nama dan "tema" sendiri, yang perabotan dan interiornya ditata dengan teliti dan penuh cita rasa. "Tamu bisa memiliki pengalaman tinggal di Jawa dengan atmosfer seperti di Malioboro puluhan tahun lalu," tambah Nasir.
Ruang pribadi

Di bangunan seluas 1.300 meter persegi yang berada di lahan seluas 2.000 meter itu, Nasir dan Ita mendiami ruangan pribadi di gandok kiwo (kiri), yang mereka namai sebagai "Kamar Mataram". Bangunan yang didominasi kayu jati ini bersisian dengan ruangan yang difungsikan sebagai kafe dan galeri. "Kami kan hanya berdua, ruangan ini saja sudah cukup besar," kata Ita.
Tentu saja, ruangan pribadi ini penuh dengan barang antik. Di antaranya tempat tidur kayu berkanopi asal Tiongkok yang usianya sudah lebih dari seratus tahun, juga radio tabung antik (console radio) yang permukaannya digrafir dengan indah. "Radionya masih berfungsi lho," kata Nasir.
Di atas meja kerjanya, selain terdapat tumpukan buku lawas, juga terdapat bermacam benda lawas, seperti gramofon dan mesin ketik tua. Tak hanya itu, Nasir pun membuka sebuah kotak, yang menyimpan ratusan piringan hitam lawas yang masih mulus kondisinya. "Saya beli dari lelang," katanya.
Nasir dan Ita memang memiliki hobi dan passion yang sama soal barang antik. Nasir menyukai keramik dan litografi, sementara Ita menyukai perabotan antik. Ndalem Natan menjadi wujud ekspresi mereka berdua. "Soal penataan ruangan saya serahkan kepada Ita," kata Nasir

Sore hari adalah waktu yang paling disukai pasangan ini, ketika semilir angin dari berbagai penjuru menyelusup ke pendopo. Sambil menyeruput kopi dengan ditemani kudapan tradisional, keduanya menanti pergantian dari sore ke malam hari. Langit di Yogyakarta sangat indah. Biru pekat dengan semburat matahari berwarna jingga. Warna-warni ini perlahan memudar. Langit pun gulita.



Di Jalan Mondorakan, Kotagede, Yogyakarta, rumah antic ini menarik perhatian karena keindahannya. Perpaduan antara gaya Jawa dan Eropa. Setelah hancur oleh gempa tahun 2006, Ndalem Natan kini berdiri kembali. Lebih indah daripada sebelumnya.
                                                                                                                   

Senin, 10 Oktober 2016

Ruang Kontemplatif di Hening Malta

Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:


Ruang Kontemplatif di Hening Malta

ANTIROOM II adalah pavilion mengapung, ruang yang ditujukan untuk pengalaman kontemplatif. Anteroom II dibuat oleh Elena Chiavi, Ahmad el Mad, dan Matteo Goldoni dalam lokakarya Europe Architecture Students Assembly (EASA) 2015 di VAlleta, Malta.

Struktur terapung ini berjarak dari tanah dan hanya dapat diakses dengan berenang atau perahu. Menyajikan sebuah “pulau buatan”  baru yagn dapat dengan singkat membawa kita ke atmosfer yang berbeda, dunia yang terisolasi.

Arsitek-arsitek tersebut mengatakan, pula uselalu punya signifikasi terhadap pulau itu lahri dari pemikiran tentang ruang sehat, tempat orang dapat berbaring di sana dan merasa di rumah. Anteroom II adalah symbol fisik atas penerimaan terhadap semua orang, dari semua lata belakang tanpa kecuali.

Paviliun  dengan struktur sirkular ini dibaut dari kayu. Baigan tengahnya difungsikan sebagai kolam renang yang aman dan tenang. Di bagian tepiannya, tirai putih dari kain tipis nyaris transparan bergerak-gerak tertiup angin, seperti bernapas.

Dalam keadaan mengapung dan ketidakstabilan, arsitektur Anitoom II justru mengingatkan ktia untuk merasakan lagi kelembutan, air yagn bergerak, juga sepoi angin. Pengunjung dapat berenang-renang di dalam kolam atau duduk di dek kayu. Atmosfer yang dihadirkan Antiroom II sekaligus keheningan Malta akan membawa Anda pada pengalaman yang sama sekali lain.[Sumber : KOMPAS, Senin, 18 Januari 2015 | komp.as/infoklasika | */NOV]



kontemplasi,atmosfer,interprestasi,

anteroom II, valleta malta,Elena chiavi,ahmad el mad,matteo Goldoni, Europe architecture students assembly

Anteroom II adalah simbol fisik atas penerimaan terhadap semau orang, dari semua latar belakang tanpa kecuali

Jumat, 09 September 2016

TIGA DESAIN INTERIOR YANG AKAN MENJADI TREN TAHUN 2016

JAKARTA, KOMPAS.com - Warna-warna gelap yang menenangkan macam biru, dan desain vintage yang mendominasi tahun 2015 lalu, bakal menjadi usang saat warna-warna alami kembali memenuhi ruang interior dan menjadi tren utama tahun ini.
Menurut pakar desain Lamudi, Daniel Carrasco Lara, desain modern, dan geometris serta bahan-bahan mineral dan natural akan meningkat penggunaannya tahun 2016.
Selain itu, warna modern yang menyegarkan akan kembali diminati, dikombinasikan dengan kesederhanaan.
"Karena itu, industri profesional bisa berharap banyak pada barang-barang buatan tangan pengrajin, penggunaan bahan yang berkelanjutan, akan terus meningkat. Pemakaian bahan metal dan logam juga mengikuti," tutur Daniel dalam keterangan tertulis kepada Kompas.com, Senin (4/1/2016).
Menurut Daniel, ada tiga desain rumah yang akan menjadi tren tahun ini:
Ubin geometris
Backsplash dekoratif memang menjadi tren pada tahun 2015 dan tahun 2016 akan membawa tren ini ke level selanjutnya.
Kayu yang halus dan semen akan menjadi komponen utama untuk desain
interior, baik penggunaan ubin atau meja yang berpola rumit, desain tersebut akan tumbuh dan menjadi populer.
Cobalah untuk berpikir secara kreatif ketika akan membuat lantai, backsplash atau meja yang geometris. Kombinasi warna 1920-an akan menjadi tren lagi.
"Untuk itu, sebaiknya Anda bersiap-siap menerima gelombang tahun 1920-an ini," tambah Daniel.
Bahan natural
Au natural (natural) adalah tren desain paling populer untuk bahan mineral.
Batuan geodes yang halus dan melekat pada plastik transparan yang menjadi tren pada tahun 2015, kini bergeser ke arah mangkuk berbahan pyrite yang berkilauan atau batu-batu kasar yang digunakan sebagai kenop pintu.
Selain itu, batuan kuarsa juga akan digunakan untuk bahan hiasan di ruang tamu dan kamar tidur.
Barang-barang Buatan Pengrajin
Konsumen sebaiknya menyambut tren 2016 yang mencampurkan barang vintage, barang buatan pengrajin dan barang pabrikan yang sederhana.
Kombinasi kulit domba Mongolia dan karpet Maroko dengan meja kopi tentu akan menjadi ide yang menyenangkan serta mengejutkan tamu yang datang ke rumah Anda.
Tenunan juga akan kembali menjadi tren, entah itu berbentuk tassels dan keranjang atau crochets, unsur tenun tradisional pasti akan dimasukkan.
Carilah inspirasi dari toko kerajinan lokal dan dukunglah proses ekonomi lokal.