Senin, 15 Februari 2016

Flexibilitas

Flexibilitas

BELUM SATU PUTARAN MUSIM

Pagi di rumah Ekopurwanto, Dusun Kedondong, Kulon Progo, jawa tengah
[sumber : KOMPAS, MINGGU, 3 JANUARI 2016 | OLEH : MARIA HARTININGSIH]
Matahari perlahan muncul dari gulungan awan, malu-malu memancarkan sinar keemasan yang dengan lembut menyingkapkan tirai kabut yang membungkus lembah. Kami berdiri di atas dek kayu, di teras samping rumah Eko Prawoto (57), berhadapan langsung dengan keajaiban bentang alam pagi. Hari baru pukul 05.25.
isa embun masih menutup ujung rumput dan daun. Tanah basah, sisa gerimis kemarin petang. Jalanan masih sunyi, kokok ayam mulai samar. Tak lebih 10 menit, Dusun Kedondong, Kulon Progo, Yogyakarta, sudah terang benderang.
Eko dan istri, Rinawati (55), menempati rumah itu sejak Agustus lalu. "Awalnya cuma datang setiap hari, dua-tiga jam, melihat tukang sambil menyapa tetangga yang berdatangan dan mengobrol ringan," papar Rina.
Lahan itu dibeli bersama seorang teman beberapa tahun lalu, tetapi teman itu lalu menemukan tempat di desa lain.
rumah di bibir tebing
Kini, di atas lahan seluas 1.955 meter persegi itu terdapat empat bangunan rumah desa. Lingkungan fisiknya dibangun perlahan hampir dua tahun. "Diselaraskan dengan kondisi lapangan agar tidak mengganggu yang sudah ada," ujar Eko.
Yang paling lama adalah membuat turap di bagian-bagian yang berbatasan dengan empat susun tebing; dua di bagian atas, dua di bagian bawah. Eko tak ingin mengubah karakter lanskap.
Kembali ke akar
Ayah tiga anak itu-ketiganya sudah mandiri-memang ingin tinggal di desa setelah pensiun pada usia 55 tahun. Namun, pihak universitas masih memintanya mengajar.
Saat itu dia tiba di satu titik yang membuatnya harus menjawab pertanyaan eksistensial: Apa manfaat keberadaan saya?
Pintu masuk"
Selama 30 tahun mengajar, saya merasa tidak menambah body of knowledgedi bidang arsitektur," ujar Eko. "Saya ingin memproduksi pengetahuan."
Beberapa universitas di luar negeri menawari program khusus. Namun, kata Rina, Eko memilih belajar dari kehidupan, di mana mata air pengetahuan tak pernah kering.
Sebagai arsitek yang boleh dikatakan paling banyak mewarisi pemikiran Romo JB Mangunwijaya, Eko meyakini, arsitektur seharusnya merawat nilai-nilai hidup.
"Semua boleh berubah, tetapi perasaan kita pada ibu, pada langit, pada pohon, pada alam, akan tetap sama. Banyak hal sudah ada di situ, dalam perasaan kita dan akan selalu demikian," ujarnya, mengingat gurunya, Dr Balkrishna V Doshi, saat belajar di Berlage Institute, Belanda, tahun 1991.
Koleksi perkakas pertanian
"Maksudnya, arsitektur tak boleh sewenang-wenang, seakan-akan semua hal bisa diatur dan dimanipulasi," jelas Eko.
Maka, kejujuran dan kerendahan hati dalam berarsitektur sangat penting dan melampaui segala bentuk rancangan. "Intervensi selalu bersifat sementara. Hierarki tertinggi adalah alam," katanya.
Eko kembali ke desa karena ingin menemukan akar tradisi yang punya ikatan khusus dengan bumi. "Orang Jawa menjalaninya dengan 'laku', 'nglakoni', mengalami."
Desa pun terus dilanda masalah karena dirangsek kebudayaan urban. Pengaruh media membuat banyak hal berubah, termasuk pola konsumsi. Kebudayaan agraris mulai luntur, padahal kehidupan desa bersifat kolektif.
"Jadi seperti menganyam serpih-serpih nilai yang seharusnya menjadi dasar pemikiran tentang keberlanjutan yang lebih otentik, yang harus digali dari dalam."

Padi dan perkakas rumah tangga
Eko ingin membuat museum alat-alat pertukangan desa. "Seperti memori kolektif yang disajikan ulang, yang bisa dipelajari lagi oleh orang desa maupun kota."
Terus berproses
Begitu memasuki pekarangan yang tak ada bedanya dengan pekarangan rumah-rumah sekitar, tampak dua rumah tua yang berasal dari Desa Paiton, Probolinggo, Jawa Timur. Umur rumah itu konon 125 tahun. Konstruksinya kayu jati utuh, dibuat tanpa mesin, hanya menggunakan pethel sehingga masih terlihat jejak urat kayunya.
Rumah utama berukuran enam kali 14 meter persegi, tanpa sekat, tempat tinggal Eko dan Rina. Rumah satunya berukuran lima kali delapan meter persegi untuk tamu yang menginap, belum selesai dibenahi.
"Pelan-pelan sambil mengatur uangnya, he-he-he," kata Eko, yang mengambil semua uang pensiun untuk merajut mimpinya.
Ruang tamu "formal" adalah ruangan di dalam bangunan kayu berukuran tiga kali lima meter, beralas tikar pandan, terletak di bagian tebing atas. Di situ, Eko menyimpan peralatan pertukangan tradisional yang nyaris punah.
Di bagian tebing bawah dihuni bangunan tua tanpa dinding dari Wonogiri, yang "dimenangi" dari perebutan dengan orang asing. Di situlah Eko mengajar. "Di hadapan alam, pikiran mahasiswa jadi terbuka."
Ruang keluarga Eko Purwanto dan Istri Rinawati
Bangunan itu berhadapan dengan Sendang Sejati, yang konon digunakan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya saat jeda perang. Mata air yang mengucur sepanjang tahun dimanfaatkan bersama dengan tetangga.
Ketika air sendang berkurang saat kemarau panjang, warga desa menyalurkan air untuk ngeleb. "Di sini ada galengan-galengan untuk jalur ngeleb, yaitu menggenangi suatu tempat dengan air dari saluran irigasi, supaya air sendang atau sumur di rumah tetangga naik lagi," jelas Rina.
Rina berbagi hasil panen dengan tetangga, pun sebaliknya. Tamu dalam jumlah besar disuguhi makanan dan lauk khas desa yang dimasak tetangga di rumah masing-masing. Mereka berbagi rezeki dan kenikmatan.
Serba rawan
Kehidupan baru di wilayah rawan gempa itu dinikmati sepenuh hati. "Pernah guncangannya lumayan besar sampai tetangga berdatangan setelah reda."
Pun longsor, Minggu (13/12) malam. "Koreksi alam atas bentuk rekaan," kata Eko. "Pelajaran penting bagi saya yang pengetahuannya belum genap satu putaran musim."
Begitulah. Eko didukung Rina, belajar dari kearifan di desa, seberapa pun bisa. "Masih belum ke mana-mana, masih banyak yang tidak saya ketahui."
Namun dia tahu, yang terpenting dari seluruh proses adalah srawung, karena pengetahuan sering datang tak terduga dari orang-orang sederhana yang dikunjunginya sampai ke ujung-ujung dusun.
Eko mengosongkan gelasnya dan membiarkannya terbuka