MERPATI di RUMAH BATU
By Kevin, di sadur dari KOMPAS,
MINGGU, 14 SEPTEMBR 2014, teks oleh MAWAR KUSUMA, FOTO dari google.
#francis surjaseputra
Seperti apa rumah Presiden Himpunan Desainer Interior
Indonesia yang juga Presiden Asia Pacific Space Designer’s Alliance? Dengan
segala keramahan, Francis Surjaseputra (47) segera membuka lebar-lebar pintu
rumahnya yang bernuansa sejuk pegunungan di tengah padatnya ibu kota.
UNTUK menghadirkan
suasana alami. Francis mengandalkan kekuatan cahaya sebagai kunci utama.
Limpahan cahya yang amsuk ke stiap sudut ruang menumbuhkan kesegaran baru.
Penghuni rumah dengna mudah bisa menghirup pertantian hari dari pagi, siang,
hingga malam hari dari jendela yang terbuka lebar.
“Saya mengandalkan suasana alami. Kesempurnaan itu
membosankan. Sempurna apapun pasti nanti kurang sempurna. ketidaksempurnaan
itulah yang justru indah, seperti melukis enggak pernah berhenti. Proses
mendesain juga sama. Yang penting feeling sudah oke,” kata Francis tentang
rancangan rumah pribadi yang juga berfungsi sebagai kantor itu.
Ketidaksempurnaan pula yang ditonjolkan Francis sebagai
aksen utama. Ketika merenovasi lantai dua rumah yang dialokasikan untuk tempat
tinggalnya bersama kedau putra-putrinya. Ia berpesan agar batu bata di dinding
rumah dibiarkan ala kadarnya. Begitu ditinggal keluar kota, tukang bangunan
lupa dan dinding batu bata sudah diplester.
Akhirnya, agar rasa rustic
dengan kekhasan nuansa tua dan “berkarat” tetap tercipta , dinding rumah
terpaksa dicat, tapi tanpa melalui proses pelapisan aci. “Enggak mengejar
kesempurnaan di rumah ini. Pengin sesuatu yang beda. Saya suka rustic. Lebih artistik,” tambah Francis.
Sentuhan rustic
tak hanya muncul pada dinding rumah, seperti kusen, dibiarkan kasar tanpa
sentuhan ampelas. Dengan menonjolkan kesan material yang kasar dan tua, ruma
htersebut menjadi terkesan tua dan hangat.
HIBRIDA DESAIN-SENI
Rumah Francis menjadi semakin berkesan tua karena ia menaruh
beragam benda antic di setiap sudut rumah. Peti-peti tua yang dipungut dari
kota kelahirannya, Malang, Jawa Timur, memenuhi salash atu sudut kantor.
Bersanding dengan peti-peti tua itu tampak kulkas tua dan sepeda Peugeto yang
diproduksi tahun 1952.
Jejak-jejak masa lampau makin kentara ketika kaki mulai
melangkah menuju lantai dua rumah yang merupakan area pribadi Francis dan
anak-anaknya. Pada tiap anak tangga, terdapat benda-benda antic. Jeriken-jeriken
tua menjadi hiasan di setiap anak tangga. Ada pula rantang besi yang dulunya
menjadi bekal makan tentara Belanda. Ada pula koleksi tempat air suci dari
zaman Kerajaan Majapahit.
Di lantai dua, koleksi anti seperti garamofon menajdi hiasan
yang sekaligus sebagai sarana hiburan. Pemutar piringan hitam itu diperoleh
dari beragam tempat, seperti Yogyakarta, Spanyol, dan Amerika.
Sebagai simbol perlawanan terhadap penyeragaman barang
konsumsi, Francis juga mendesain radio yang sama sekali tak menyerupai radio.
Meski tetap bisa mengeluarkan bunyi, radio ini terliaht seprti meja panjang
yang bisa sekaligus digunakan memajang beragam barang.
Di dinding rumah, tampak tujuh pigura dengan foto perempuan
cantik. francis sempat membawa pigura-pigura itu untuk dipamerkan. Pengunjung
pameran cukup menekan tombol di bawah pigura untuk berbicara lewat telepon
kepada si pemilik wajah.
Produk unik lainnya berupa sendok khas Jawa yang biasa
disebut suru. Jika suru dibuat dari daun pisang, suru kreasi Francis ini berbahan baku
kayu jati atau kayu kelapa. Francis menyebut produk-produk kreasinya sebagai
hibrida antara seni dan desain.
“Kita dipaksa menelan produk yang sudah jadi. Makan pakai
sendok garpu juga wujud pemaksaan budaya. Dari situ muncul perlawanan terhadap
globalisasi. Masunya yang beda. Larinya ke custom,
baik desain rumah maupun baju. Karenanya profesi desainer enggak pernah mati,”
kata Francis.
Elemen psikologi
Francis mulai jatuh cinta pada seni dan desain sejak kuliah
di Inggris. Ia masu ke sekolah khusus bagi mereak yang belu mtahu akan
mengambil jurusan apa dan sempat menjajal jursan fotografi, desain grafis,
lukis, patung, hingga tekstil. Setelah satu tahun, Francis jatuh cinta pada desain interior
dan mendapat beasiswa kulliah di Ecole Parsons di Paris.
Francis bergabung dengan organisasi APSDA sejak 2006 dan
kini telah diangkat sebagai penghubung APSDA seumur hidup. Sebagai Presiden
APSDA 2012-2015 sekaligus Presiden HDII 2013-2015, Francis menegaskan bahwas
seorang desainer interior harus mampu menentukan masa depan desain, jangan
ditentukan oleh kontraktor.
“Rumah dibangun sekali untuk selamanya. Kalau bisa jadi
ikonik,” ujar Francis.
Saat ini, Francis sedang sibuk mengerjakan proyek desain
interior untuk restoran dan hotel. Namun, ia juga menyisakan waktu untuk
membantu pembangunan dua yayasan social, yaitu yayasan untuk anak kemoterapi
dari keluarga kurang mampu serta sekolah bagi anak terbelakang. “Desainya harus
yang terbaik. Ruangan harus terang, tapi enggak silau. Elemen kayu batu harus
ada. Suasana harus alam. Bukan sintetik,” tambhnya.
Elemen warna, misalnya, bisa memberi damapk psikologi bagi
kesembuhan pasien. Francis mencontohkan tentang sel tahanan pejabat yang diberi
cat warna pink. Hasilnya, siterpidana yang terpapar warna pink
lama-kelamaan bisa menjadi lebih lunak dan lembut.
“Elemen alam juga penting buat kita. Cahaya, udara,
tumbuh-tumbuhan, air, itu nomor satu,” tambahnya.
Dinding luar rumah dihiasi dengan tempelan batu-batuan, yang
kini menjadi rumah bagi tiga ekor merpati kesayangan yang telah beranak pinak menjadi 60 ekor.
Tentang kotoran merpati yang banyak tertempel di dinding. Francis justru
tertawa senang, “kotorannya? indah sekali itu!”