Kamis, 03 Maret 2016

TEROPONG | DESA WISATA

Dari Tsou di Lereng Gunung ke Hinoki di Tengah Kota
Pohon Tiga Generasi merupakan salah satu pemandangan menarik di Alishan National Recreation Area, Chiayi, Taiwan.
[sumber : KOMPAS, RABU, 16 DESEMBER 2015| Oleh : FRANSISCA ROMANA NINIK]PEMUDA itu menggengam seikat alang-alang pada kedua tangannya. Diangkatnya alang-alang tersebut tinggi ke udara sambli melantunkan semacam nyanyian tradisional. Di hadapannya berdiri tamu-tamu yang berkunjung ke Yuyupas di Leye, desa wisata suku Tsou di kaki pegunungan Alishan Taiwan, awal desember 2015.
Ritual itu adalah ucapan selamat datang bagi para pengunjung. ”Kami memberi tahu kepada para dewa tentang kedatangan Anda sekalian agar semua selamat selama berkunjung di tempat ini,” tutur Sua, pemandu wisata di desa wisata itu.
Suku Tsou adalah suku asli Taiwan yang mendiami kawasan sekitar Gunung Alishan. Berdasarkan data dari Digital Museum of Taiwan Indigenous Peoples, mereka disebut berasal dari ras Austronesia. Tsou berarti manusia. Nama tersebut diadopsi dari para ilmuwan karena kelompok suku ini sebenarnya tidak memiliki nama sampai saat Jepang berkuasa di Taiwan tahun 1940-an.
Sua menjelaskan, nenek moyang mereka turun dari langit bagaikan benih-benih tanaman yang lalu hidup di atas tanah. ”Nenek moyang kami bisa terus bertahan karena dibantu burung api. Saat air bah melanda tanah ini dan nenek moyang kami tidak bisa menyalakan api, datanglah burung itu membantu kami sehingga kami terus hidup,” tuturnya.
Tinggal di pegunungan, suku Tsou dilimpahi dengan kekayaan tanaman dan hewan yang menjadi sumber penghidupan mereka. Saat ini, pertanian merupakan penyokong hidup terbesar suku Tsou. Di sekitar Yuyupas, pengunjung bisa melihat hamparan perkebunan teh, di samping tanaman pertanian lain yang menjadi sumber pangan mereka, seperti taro, persik, bambu, dan sayur-mayur.
Kedamaian kehidupan di pegunungan Alishan ini sempat terguncang oleh topan Morakot pada 2009 yang meluluhlantakkan tempat tinggal dan penghidupan suku Tsou. Banyak anggota suku yang kemudian pergi meninggalkan rumah mereka.
Sua menuturkan, untuk membangkitkan kembali kehidupan yang porak poranda akibat topan, muncullah gagasan membangun sebuah taman budaya di jantung kehidupan mereka. Yuyupas, berarti selamat dan sejahtera, kemudian menjadi tujuan wisata terkenal di kawasan Alishan.
Di taman seluas sekitar 2 hektar itu didirikan semacam aula pameran yang menampilkan kisah asal mula, foto-foto kehidupan masa lalu, atribut khas, hingga gambaran kehidupan sehari-hari mereka pada masa kini. Terdapat pula rumah-rumah tradisional, restoran, rumah pohon, dan teater yang akan membuat pengunjung benar-benar melihat dari dekat dan mengalami kehidupan suku Tsou.
Para pemuda dan pemudi Tsou, dalam balutan pakaian tradisional mereka, terlihat sibuk di restoran, menyajikan olahan jamur, bambu, ikan, ayam, udang, dan babi kepada pengunjung. Mereka terbalut pakaian tradisional Tsou. Para pria berbaju merah dengan ikat pinggang hitam; berkerah, bercelana, dan berkasut dari bahan kulit rusa; serta ikat kepala dengan hiasan bulu burung. Sementara para perempuan berbaju merah dengan rompi biru, berkain hitam, dan mengenakan hiasan kepala warna-warni.
Kendati demikian, mereka tdak menjauhi budaya modern. Sua, misalnya, mengenakan celana kain dan kacamata, juga memakai handy-talkie, di samping sepatu sneakers. Perpaduan unik nan harmonis.
Di teater, setiap hari mereka menampilkan pertunjukan tari dan musik tradisional Tsou pada pukul 10.00 dan 14.00. Sayangnya, kami tidak sempat menikmati pertunjukan karena tidak datang pada waktu-waktu tersebut. Di sekeliling taman budaya terdapat rumah-rumah kecil yang difungsikan sebagai tempat penjualan suvenir, berupa aneka kerajinan, pakaian, serta produk makanan dan minuman.
”Anda bisa menyewa pemandu wisata setempat jika ingin lebih dalam mengenal kami. Anda juga bisa menginap di sini, menikmati budaya setempat dan keindahan alamnya,” ujar Sua.
Ratusan tahun
Dari lereng gunung, kami menuju desa wisata lain di tengah kota Chiayi. Desa ini masih ada hubungannya dengan kawasan Alishan, tempat suku Tsou berdiam. Disebut Hinoki Village atau Desa Hinoki karena bangunan-bangunan di ”desa” tersebut seluruhnya dibuat dari kayu hinoki atau cemara Taiwan yang tumbuh di Alishan.
Jeffrey, pemandu tur kami, menuturkan, selama ratusan tahun, bangunan-bangunan tersebut tetap dijaga dengan baik. ”Semula bangunan-bangunan ini adalah asrama para pekerja Hutan Chiayi pada Biro Kehutanan Taiwan semasa pendudukan Jepang. Sekarang tempat ini menjadi ’desa’ kreatif,” katanya.
Lokasinya tidak jauh dari Stasiun Peimen yang merupakan perhentian dari jalur pengangkutan kayu cemara dan pinus dari Alishan ke pusat kota Chiayi. Berdiri di atas lahan seluas 3,4 hektar, di sinilah dulu keramaian Chiayi berpusat karena kegiatan terkait perkayuan, mulai dari gudang penyimpanan, toko material kayu, hingga pabrik kayu.
Sebanyak 28 bangunan tua yang berkelompok di sekitar Jalan Beimen, Jalan Linsen, Jalan Gonghe, dan Jalan Zhongxiao ini memang terlihat masih kokoh. Warnanya coklat tua dengan model bangunan khas Jepang, seperti pintu dan jendela geser. Kini bangunan tersebut dimanfaatkan untuk aneka kegiatan, terutama yang berhubungan dengan industri kreatif.
Ada museum, kedai makanan, toko suvenir, salon kecantikan, galeri, dan sentra kerajinan. Di teras rumah terlihat beberapa seniman mengerjakan karya dengan tekun. Di salah satu rumah bertulisan Chiayi Kano Story House, Yu Quan tampak sibuk melayani pertanyaan beberapa pengunjung.
Di dalam ruangan rumah itu terdapat semacam galeri yang berisi beragam hal yang berhubungan dengan tim bisbol Kano dari kota Chiayi yang terkenal pada 1931 dan dibuat filmnya tahun 2014. ”Silakan masuk. Maaf, kami memungut tarif masuk 30 dollar Taiwan (sekitar Rp 12.000),” kata Yu, sembari menunjukkan koleksi majalah tahunan Asosiasi Alumni Kano, foto-foto hitam putih skuad tim Kano, dan aneka pernik lain, seperti bola, tongkat pemukul, sarung tangan, dan seragam.
Di rumah lain, para pengunjung tampak melihat-lihat beragam suvenir, seperti gelang, tas, gantungan kunci, sapu tangan, dan aksesori. Di bawah pepohonan, tampak pengunjung duduk sambil menikmati makanan atau pemandangan taman ala Jepang yang lapang dan rapi.
Di tengah kesibukan kota, Desa Hinoki yang asri dan penuh kreativitas ini menjadi semacam oase bagi warga ataupun pengunjung. Tak hanya bisu menjadi saksi sejarah, bangunan-bangunan kayu hinoki tua itu juga kini menggerakkan perekonomian kota. (FRO)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Des

Alishan,cemara,meniti,hutan,area,chiayi,Taiwan,tersembunyi.
Tsou di lereng gunung,Hinoki di tengah kota,desa wisata,ratusan tahun.
                                                                                                             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar