Jumat, 25 Maret 2011

Rumah Pusaka, Pondok Jati Rasa



Rumah Milik Nona Farsijana Risakotta di Ujung Tebing.

Maria Hartiningsih dan Wawan H Prabowo

Sejauh mata memandang yang tampak hanya biru permukaan laut, sebiru warna langit ketika matahari bergerak menuju puncak. Dari serambi rumah, di tebing di atas permukaan Laut Selatan di Parangtritis, Yogyakarta, terbentang dataran tak bernama yang menyapa lewat rasa.

Pemandangan itu memaku mata, memunculkan perasaan yang sulit diuraikan dengan kata-kata. Semua unsur yang terlihat, terdengar dan terasa dari serambi rumah itu seperti membentuk orkestrasi yang sempurna: desau angin, debur ombak, desah daun yang bergesekan, gemerisik ranting kering, tarian rumput dan bunga perdu, bau tanah dan batu, suara monyet, serangga, dan fauna yang tersisa di Alas (hutan) Wigude. Tiupan seruling yang meningkahi berasal dari lengkingan burung yang melintas sesekali.

Semua itu seperti berpusat di rumah berarsitektur Jawa, berukuran 9 x 13 meter persegi yang komponen-komponennya melambangkan pertemuan Jawa, Hindu, dan Islam. Pahatan di gelagar menunjukkan rumah itu dibangun tahun 1822, dibiarkan apa adanya. Pun bagian kayu yang lapuk dimakan zaman.

Dinding kaca selebar dua meter menghadap serambi samping dikerangkai gebyok berukir seperti menghubungkan bagian dalam rumah dengan alam yang terbentang di depan. Garis pertemuan kaki langit dengan permukaan laut yang batasnya fatamorgana tampak jelas kalau cuaca cerah. Kadang, garis itu diselimuti kabut, membuatnya tampak seperti gerbang dari suatu tempat yang menyimpan rahasia semesta.

Terjal berbatu

”Selamat datang di Pondok Jati Rasa,” sambut Farsijana Adeney-Risakotta, akrab disapa Nona, seraya merentangkan kedua tangannya.

Sungguh tak mudah mencapai rumah itu. Jalanan terjal berbatu, berkelok-kelok, sempit, mendaki, dan di beberapa bagiannya bersisian langsung dengan bibir jurang sepanjang empat kilometer adalah rute yang harus dilewati, setelah perjalanan 28 kilometer ke arah selatan kota Yogyakarta.

Nona (46) bersama Bernard Adeney-Risakotta (61) yang akrab disapa Adi Satria adalah pasangan ilmuwan pemilik rumah di kawasan hutan seluas delapan hektar itu. Namun, istilah ”pemilik” dalam hukum formal itu dikoreksi Nona. ”Mungkin lebih baik disebut yang bertanggung jawab merawat,” ujar Doktor Antropologi lulusan Radbout Nijmegen Universiteit, Belanda, itu.

Bagian dalam rumah itu disangga delapan tiang. Serambi depan dan samping disangga 13 batang pohon kelapa. Sentuhan modernitas terlihat di area kamar mandi dan kamar tidur, ditandai dengan kloset duduk dan lantai keramik. Bagian dalam ruang berdinding kaca yang kini dihuni kursi malas di depan perapian, dulu adalah ruang kerja eyang buyutnya, yang tak boleh dimasuki sembarang orang.

”Kalau mau masuk, harus minta izin dan harus lewat gebyok, sehingga jalannya harus menunduk, seperti memberi hormat,” ujar Nona yang berdarah Jawa-Ambon itu.

Proses panjang

Pondok Jati Rasa merupakan bagian dari proses Nona dan Adi menemukan diri sejati dalam perjalanan menuju Sang Pencipta. Termasuk dalam proses itu adalah perjumpaan dengan sesama makhluk, yang terlihat, terjamah, maupun yang tidak, apa pun namanya, untuk membangun rasa dan menghormati kehidupan.

Seluruh atmosfer di Alas Wigude itu terasa mistis, apalagi memang ada beberapa goa, jauh di bawah. Jarak tebing dengan dua batu alam dampit di Tanjung Selopenangkep, misalnya, hanya 200 meter, sebelum turun 300 meter ke Goa Langse, yang menjorok sekitar 50 meter ke dalam, seperti masuk ke perut Bumi.

Pondok Jati Rasa berdiri paling akhir. Mula-mula mereka membuat pendopo dan rumah batu untuk penjaga rumah, setelah membeli secara mencicil lahan gersang dan gundul yang ditawarkan warga awal tahun 2000-an. Hutan di bagian bukit itu kini sudah hijau setelah Nona dan Adi dibantu warga menanam 1.500 beragam pohon lokal.

”Kemarin Pak Kepala Dusun melakukan sensus tanaman, ada 5.197 pohon, termasuk 91 jenis pohon langka,” kata Nona. Kata Pak Tumijo dan Bu Sariyem, pasangan yang menjaga rumah itu, Adi memintanya tidak membuang ranting pohon yang jatuh, dan membiarkan semua kembali menjadi humus. Tak seekor pun binatang boleh dibunuh.

”Kami pernah meninggalkan rumah ini selama enam bulan karena ke Amerika. Ketika kembali, kami membuat ritual sederhana untuk berterima kasih kepada semua makhluk yang sudah menjaga rumah, dan meminta mereka yang masih di dalam kembali ke hutan,” tutur Nona.

Ketika hendak mendirikan rumah untuk tetirah itu, tak diduga, seorang kerabat dari Prambanan meminta Nona membeli rumah leluhur. ”Katanya, yang kuat merawat pusaka leluhur ini keturunan yang perempuan,” kenang Nona, ”Saya kaget. Kok semuanya seperti kebetulan. Padahal waktu itu kami tak punya uang.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar