Sabtu, 09 April 2011

M elebar ke trotoar tapi rapi

Disadur ulang oleh Kevin dari naskah abunsanda

Tokyo, ibu kota jepang yang elok, dikenal sebagai salah satu kota metropolitan kelas dunia yang memiliki infrastruktur mengagumkan. Jaringan semua moda angkutannya sangat canggih. Fasilitas public pun amat fantastis, sekelas bintang enam.

Kota yang berpenduduk hampir 20 juta jiwa ini memang tidak semegah New York, tidak seromantis Paris, atau tidak penuh suara merdu sebagaimana kerap kita dengar di kota Wina atau Munchen. Tetapi Tokyo memang rapi, lebih bersih, lebih tenang, dan warganya penuh sopan santun. Sedikit-sedikit saling hormat sambil membungkuk-bungkukan badan.

Dalam soal makanan, jangan tanya. Tokyo merupakan salah satu surga makanan yang termasyur, di samping Hongkong, Shianghai, Singapura, San Fransisco, Jakarta dan sebagainya. Cobalah misalnya, makanan murah pepper lunch, pasti menggetarkan seluruh sendi rasa. Namun, inilah hebatnya jepang, sangat langka menemukan warga jepang, pria atau wanita berperut buncit. Mereka gemar makan, tetapi tekun berolah fisik. Mereka suka bersepeda dan berjalan kaki sampai belasan kilometer per hari.

Hal sangat menarik, kota ini amat rapi. Executive baru-baru ini bertutur, ia sangat suka datang ke jepang di antaranya karena kerapian dan kebersihannya. Coba engkau lihat trotoarnya. Dipakai untuk duduk tanpa alas sekalipun, tida menjadi soal. Perhatikan pula kursi-kursi di taman-tamannya, bersihnya mencengangkan, tutur executive tadi. Setelah puas berjalan, atau membeli barang-barang yang tidak ada di Indonesia, cobalah makanan di sana. Makanan yang disajikan hanya yang enak dan enak sekali.

Suatu kali semasa liburan, saya susuri trotoar-trotoar kota Tokyo, belasan kilometer per hari selama lima hari berturut-turut. Saya berkeliling hampir semua trotoar jalan elite dan sejumlah kawasan menengah Tokyo. Kesannya sama bersih, rapi, dan tertib. Kembang warna-warni bertebaran di mana-mana.

Selain trotoarnya asyik disusuri, bangunan-bangunannya pun elok. Sentra bisnisnya dibangun dengan seleera arsitektur kelas wahid. Rumah-rumah penduduk, dari elite sampay yang sederhana, dibangun dengan selera sangat terjaga. Bahkan toko-toko yang sederhana, yang menjual barang-barang kebutuhan rumah tangga, dikemas rapi. Kalau pun barang-barang dari toko sederhana itu meluap keluar, tetap dikemas sangat bagus sehingga selalu tampak rapi. Estetika tidak terganggu sama sekali. Barang yang diekspansikan ke halaman toko tetap tegak dengan kondisi gagah. Control yang ketat dilakukan oleh pemilik tokonya sendiri. Tidak ada kesan hendak mengokupasi kawasan untuk pedestrian. Otomatis keelokan salah satu kota bisnis terbesar di dunia ini tidak tercemar sama sekali.

Warganya pun luar biasa disiplin. Pada pukul 02.00 ketika jalanan mulai senyap, mobil yang berseliweran sudah sedikit jumlahnya, aroma ketaatan terhadap rambu lalu lintas tetap pekat. Tatkala lampu lalu lintas bernyala merah, mobil yang melintas segera berhenti. Ketaatan ini mengagumkan dan kemudian menjadi refleksi betapa tinggi disiplin sebuah bangsa besar. Sekedar ilustrasi lain, tatkala tsunami mengamuk dan meluluhlantakan sejumlah kota di jepang, antrian makanan dapat berlangsung sangat tertib. Warga antre sangat sabar kendati suhu kerap minus beberapa derajat. Tidak tampak kesan ingin menyerobot dan saling mendahului.


Kita tidak bermaksud mengepigonkan Tokyo dan kota-kota lain di jepang. Tetapi, tentu ada hikmah yang bisa dipetik di sini, yakni betapa disiplinnya mereka. Kedisiplinan itu lahir bukan karena kerasnya penegakan hukum (seperti Singapura), bukan juga karena instruksi-instruksi petinggi pemerintah, tetapi lahir dari kesadaran warganya sendiri. Mereka merasa ikut bertanggung jawab menjaga ketertiban, kerapian, dan kebersihan kota. Mereka bangga menjadi bagian dari kerapian itu.

Di Ginza misalnya, ketika lelah berjalan kaki selama beberapa jam, saya duduk-duduk di tempat duduk untuk public di tepi trotoar (tempat duduk seperti ini banyak bertebaran di seluruh penjuru kota). Saya melihat warga yang berpakaian rapi, di antaranya mengenakan dasi untuk pria dan blazer untuk wanita, menyapu lantai setiap sejam. Bukan main warga kota ini. Rasa memiliki kotanya tinggi sekali.

Tentu Jepang tidak meraih kultur yang luar biasa ini dalam semalam. Kultur seperti ini dibangun puluhan tahun bahkan berabad-abad. Semua tergantung pada para pemimpinnya. Kalau pemimpinnya beres, tentu warganya juga beres. Kalau pemimpinnya tertib, disiplin, dan tidak korup, rakyatnya juga akan mengikuti dengan suka-cita.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar