Senin, 11 April 2011

Menghilangkan Sekat Struktural




<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE

Menghilangkan Sekat Struktural

Lusiana Indriasari

Era keterbukaan ikut memengaruhi pola hubungan dalam dunia kerja. Konsep itu diterjemahkan ke dalam desain ruang perkantoran yang meniadakan sekat-sekat struktural antara atasan dan bawahan.

Ruang perkantoran sebuah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang telekomunikasi itu berkonsep terbuka. Hanya ada beberapa ruangan bersekat terbuat dari kaca, yang digunakan sebagai ruang pertemuan dan booth untuk bertelepon.

Selebihnya, hanya ada beberapa kelompok meja kerja yang ditata berhadap-hadapan membentuk tiga konfigurasi. Konfigurasi meja itu masing-masing hanya berbatas sekat-sekat di bawah level mata orang yang sedang duduk.

”Jadi, kalau ada pekerjaan yang harus dikomunikasikan, mereka bisa langsung berbicara dari meja kerja,” kata Gregorius Supie Yolodi, arsitek yang merancang interior ruang perkantoran tersebut. Dalam bahasa awam, meja yang ditata membentuk ”ruangan” atau areal untuk bekerja ini disebut cubicle, ada juga yang menyebutnya sebagai workstation.

Perubahan gaya hidup yang semakin terbuka, ditambah keinginan untuk saling bertransparansi, kata Supie, bahkan berlanjut ke tingkat yang lebih ekstrem. Sekarang ini di beberapa kantor di Jakarta bahkan sudah menerapkan konsep atasan-bawahan duduk bersama-sama. Tidak ada lagi ruangan-ruangan khusus yang memisahkan posisi struktural dalam pekerjaan.

Untuk keperluan itu, cubicle dirancang membentuk konfigurasi, yang terdiri dari tiga, empat, atau enam meja sesuai keperluan. Masih menyatu dengan konfigurasi itu, ada satu cubicle yang dibuat berukuran agak besar untuk tempat kerja manajer. Namun, bisa juga ukuran cubicle level manajer ini tidak berbeda dengan staf.

Dulu, mereka yang duduk di level manajer atau direktur kerap ditempatkan di ruangan khusus. Bahkan, di kantor-kantor milik pemerintahan, ada satu lantai khusus yang dihuni oleh level manajer dan direktur.

”Pemisahan semacam ini memunculkan efek psikologis yang negatif. Staf menjadi takut dengan atasan dan tidak bisa berkomunikasi dengan terbuka bila ada masalah,” ungkap Supie. Karena persoalan tidak terselesaikan, produktivitas kerja menjadi menurun.

Agar tidak ada lagi hambatan psikologis dalam berkomunikasi, mereka yang duduk di level manajer duduk dalam satu kelompok cubicle bersama stafnya. Karena semua serba terbuka, segala bentuk percakapan bisa didengar oleh orang-orang di ruangan itu. Karena itu, dalam beberapa rancangannya, Supie menyediakan booth di dalam ruang kantor bila ada pembicaraan yang harus dirahasiakan.

Konsep ”duduk bersama” dalam satu ruangan terbuka di Indonesia ini, kata Supie, berawal dari perusahaan multinasional yang memang memiliki kultur terbuka. Konsep tersebut kemudian diadaptasi oleh industri kreatif yang ingin menciptakan suasana kerja santai atau biasa disebut smart-casual. Dengan suasana kerja yang santai dan nyaman seperti layaknya bekerja di rumah sendiri inilah yang diharapkan akan memunculkan energi kreatif.

Selain bisa diproduksi sendiri, cubicle ini pengerjaannya bisa diserahkan kepada perusahaan furnitur. Apalagi bila cubicle itu dibutuhkan dalam jumlah banyak. Biasanya, selesai merancang bentuk cubicle yang diperlukan, para perancang interior ini memilih perusahaan furnitur yang dipercaya agar bisa merealisasikan konsep yang mereka buat.

Salah satu perusahaan yang memproduksi cubicle adalah Office Culture. Perusahaan yang berkantor pusat di Singapura dan memiliki beberapa gerai di Jakarta ini menyediakan cubicle siap pakai.

Cubicle itu dibuat dengan konsep menghadirkan tempat kerja yang nyaman dan tidak membosankan. ”Orang yang bekerja itu menghabiskan sebagian besar waktunya di kantor. Mereka harus memiliki tempat kerja yang nyaman supaya betah,” tutur Helen Anggreny, Manajer Pemasaran Office Culture.

Digital

Cubicle merupakan sebuah investasi perusahaan karena digunakan dalam jangka waktu lama. Karena itu, cubicle yang dibuat oleh Office Culture harus fleksibel. Artinya, cubicle itu harus bisa diubah-ubah konfigurasinya bila suatu saat suasana kantor ingin diubah.

Office Culture memproduksi bermacam cubicle, tetapi ukuran standar yang biasanya dipakai adalah 120 x 60 sentimeter persegi untuk satu orang. Cubicle ini bisa digabungkan dengan cubicle lain sehingga membentuk konfigurasi untuk enam atau delapan orang.

Tinggi sekat yang dipasang bergantung pada pemesan. Ada orang yang menginginkan cubicle dengan sekat setinggi 160 cm sehingga membentuk ruangan semipermanen, ada pula yang lebih menyukai sekat setinggi 120 cm atau setinggi mata.

Menurut Helen, Office Culture yang merupakan anak perusahaan furnitur dunia Cellini ini baru berdiri sejak dua tahun lalu. Mereka sengaja melebarkan sayap ke interior perkantoran karena melihat pasar yang besar di Indonesia, khususnya Jakarta.

Perubahan gaya hidup yang serba digital juga memunculkan kebutuhan akan cubicle. Dibandingkan meja kerja yang konvensional, cubicle ini biasanya lebih simpel tetapi modern. Tidak ada lagi tempat untuk menumpuk berkas-berkas atau arsip, demikian juga untuk menyimpan barang pribadi di kantor.

”Dengan cubicle, orang dipaksa untuk lebih selektif dalam memilih benda-benda yang akan disimpan,” tutur Helen. Cubicle ini dilengkapi dengan colokan listrik, rel untuk menggantungkan berbagai macam rak kecil, dan lemari kecil. Kalau masih kurang, biasanya cubicle dilengkapi dengan credenza atau lemari berlaci. Dengan cubicle, ruangan di kantor pun tidak lagi mirip gudang penyimpanan barang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar